serulah dia tanpa ia mendengar suaramu - ahda imran

Selasa, 28 April 2015

Kitalah Bunga Itu, Bung!

     kepada Tri Em.

   Sungguh, tulisanmu yang berjudul 'Surat dari Tanah Rantau' benar-benar membuat setiap hari saya dipenuhi tanda tanya, tanda tanya untuk diri sendiri sambil memplesetkan judul salah satu puisi  M. Aan Mansyur, 'Sudahkah Kau (gelisah, lalu lekas) Memeluk Dirimu Sendiri'. Waktu itu Jum'at pagi di akhir bulan Maret, kita bersama teman-teman MalamPuisi Jakarta sedang menyiapkan pentas untuk acara EarthHour di Binus, tiba-tiba kau mengirim pesan ke grup penggerak tentang niatan untuk pergi ke Yogyakarta atas panggilan mas Puthut EA. Sampai disini, saya sendiri bingung. Ada apakah?

   Sebelum kau memposting tulisanmu itu, berbagai spekulasi saya pikirkan tentang alasanmu pergi kesana. Barangkali ini, barangkali itu (kita bisa membahasnya di whatsapp saja. ok! hahaha). Di hari-hari awal di sana, kau sering berkicau tentang pemikiran-pemikiran Pram. Wah, ada apa ini? Tak lama setelah itu kau memposting tulisan tadi, tentang kau yang berhijrah ke Yogya. Argumen-argumenmu sangat relevan bahwa Jakarta tak cocok untuk penulis. Setelah membaca keseluruhan tulisanmu itu, aku mendapat kesimpulan: kau telah berani memilih jalanmu, bung!

   Oke, bung! Saya lanjutkan tulisan ini, sebenarnya saya pun "hampir" jadi orang Yogya. Tepatnya awal Maret kemarin, saya mendapat panggilan kerja di sana. Di sana, saya ingin menyepi dan membangun kehidupan dari titik nol, benar-benar nol. Menjalin relasi dengan orang-orang baru. Membuat cerita dan kisah baru. Selain alasannya sama sepertimu, ada juga hal-hal lain yang menjadi motivasi mengapa saya ingin sekali tinggal di sana. Banyak sekali kenangan yang ingin saya rapihkan di sana, saya ingin menenangkan rindu-rindu yang tak henti-hentinya menghantui selama 6 tahun ke belakang ini.

    Saya ingin meninggalkan semua rutinitas serta kenyamanan yang sudah cukup saya bangun 2 tahun di Jakarta. Dalam gerbong VII KA Jaka Tingkir sepanjang perjalanan Jakarta-Yogya, tak henti-hentinya tagline blog kang Zen RS"hidup yang tak dipertaruhkan takkan pernah dimenangkan!", bergaung-gaung dalam pikiran. Izin dan do'a dari orang tua juga orang-orang terdekat telah saya bawa dalam perjalanan ke sana. 2 hari saya di sana, hari pertama saya habiskan menziarahi kenangan di sudut-sudut kota Yogya, saya sempat ke Perpusda di Malioboro, Sayyidan, Kraton, sampai ke Mesjid Kauman. Dari beberapa tempat yang saya kunjungi, Perpusda ternyata memberi kesan yang mendalam, selain karena gratis, ketika masuk ke ruangannya saya "disambut" oleh beberapa orang yang benar-benar khusyuk membaca sambil menulis. Saya masih ingat, ada seorang kakek yang tengah membaca koran lama sambil menulis di selembar kertas. Luar biasa! Saya penasaran dibuatnya, begitulah kota ini.

   Namun sayang, hasil interview keesokan harinya diluar harapan saya. Saya gagal memenuhi kualifikasi yang diinginkan perusahaan tersebut. Saya tak patah arang begitu saja, kecewa memang, namun dalam diri ini, saya tekankan bahwa dibalik semua hasil hari itu terdapat sebuah hikmah pelajaran. Bahwa dimanapun semangat untuk terus berkarya harus tetap menyala, sambil mengingat bait-bait sajak 'Bunga dan Tembok'nya Widji Thukul, jika kami bunga/engkau adalah tembok itu/tapi di tembok itu telah kami sebar biji-biji/suatu saat kami akan tumbuh bersama/dengan keyakinan: KAU HARUS HANCUR!. Saya pulang ke Jakarta dengan kepala tegak. Perjalanan baru telah menunggu saya.


   
   Walau pun perjalanan ke Yogya itu cukup menguras tabungan, sampai saya juga harus keluar dari kampus (padahal baru 1 semester! hahaha). Tapi saya tak menyesal sedikit pun, karena apa? Saya telah merobohkan 'tembok-tembok' yang menjadi pembatas diri saya. Walau menurut interpretasi kebanyakan pembaca tentang 'tembok' dalam sajak 'Bunga dan Tembok' itu sebagai tirani kekuasaan yang semena-mena. Untuk saya, 'tembok' dalam sajak tersebut adalah ketakutan-ketakutan serta batas-batas yang saya buat-buat sendiri.

   Demi apapun, hasrat saya untuk menjadi warga Yogya tetap menyala sampai detik ini. Namun, demi kemapanan pikiran, perkataan, dan perbuatan, dimanapun saya harus menjadi 'biji-biji' yang tetap menolak tunduk pada 'tembok-tembok' itu. Tak ada yang lebih penting untuk ditaklukan selain diri saya sendiri! Untukmu, bung, semoga di Yogya kau bisa meraih apa yang telah kau rencanakan. Wujudkan semua mimpi-mimpimu yang tertunda, terima kasih telah berbagi ilmu dan pengalaman kepada saya.

   Bukankah: nasib adalah kesunyian masing-masing?! Semoga kita adalah 'biji-biji' yang terus melawan segala keterbatasan untuk menjadi 'bunga' di kemudian hari. Tabik!
 
Kebon Jeruk, 28 April 2015
    

   

Tadi Malam

tadi malam
gelap mengajakku
piknik ke bukit dadamu
lewat lubang susumu
sampailah 'ku di jantungmu

tadinya, ingin sekali
kumengetukmu namun
ada Dia di degupmu.

Ciamis 2015