serulah dia tanpa ia mendengar suaramu - ahda imran

Selasa, 24 Februari 2015

Kupinang (saja) Puisi dengan Sunyi sebagai Maharnya

      ; untuk Ytr.*

aku tak pernah rela namaku tertera dalam kitab 
iba masa lampaumu yang hari ini kau baca sambil
meringis tangis namun kemudian hari sambil merenda
tawa. seperti yang kau tahu, tentang kita ialah dua 
anak burung yang khusyuk belajar terbang bersama-sama,
jatuh-bangun dimuram durja. bila suatu waktu sayapku
patah kau dengan sigap memapahku, begitu juga sebaliknya.

        ...biar kini aku mengulur-ulur luka. menyulam tangis. sendiri!

bukankah ku sering bertanya tentang dosa apa yang 
telah kulakukan di kehidupan terdahulu lalu dengan
sigap kau seringnya menjawab begini: kenapa?
seperti yang kau tahu, tentang kita ialah dua 
insan tanpa dosa yang mengemis-ngemis iba restu
orangtua. kaulah serat-serat kata dari daging ringkih 
kalimatku ini dan niat ialah jantung dari darah kasih
yang mengalir lungguh dalam jalinan yang tak utuh.

        ...biar jauh dari orangtua tapi kita dekat dengan cinta!

seperti yang kau tahu, tentang kita kata mereka: bekal hidup
berdua tak pernah cukup dengan mahir menjerat kata. makanya, 
cari makna! perut lapar tak kan kenyang dengan diksi-diksi bercita 
rasa istimewa. mau makan apa? metafora? alegori? ...cuih, ironi!
tapi bukankah kenyang itu kata, perut itu kata, rasa itu kata
mereka tak pernah tahu.

        ...digit-digit rekeningku kini merindukan peristiwa yang tak pernah terjadi itu!

seperti yang kau tahu, tentang aku adalah lelaki paling lapang 
dada meski duka telah berpalung sunyi karena kau berpaling
janji memilih berpulang kepada selain aku. selamatlah kamu.

         ...ada yang jual restu? beli dong satu renceng!

biar kini kuberjalan bersama Neruda, meminang puisi dengan sunyi sebagai maharnya



Jakarta, 24 Februari 2015

*: Yang -tak- direstui



Wajahmu itu Bulan, Perempuanku

Tak dinyana, aku memiliki keberanian untuk menuliskanmu. Kamu yang senantiasa meneduhiku dengan petuah-petuah agung berkata kunci 'jangan' dan 'lupa', jangan lupa..., selalu. Pernah suatu hari kamu menangis, mengais-ngais sisa kasih untukku, kuingat kala itu sebuah hardikan dari mulutku yang lancang ini telah merobek hati, mengoyak naluri, meruntuhkan kasih hingga hanya hujan yang saban hari kulihat dari matamu. Deras sekali.

Andai waktu itu kamu memohon kepada Tuhan agar sesuatu yang buruk jatuh menimpaku maka kukira kini bukan lagi hikayat si Malin yang diceritakan sebagai pengantar tidur anak-anak di seluruh negri tapi hikayat kedurhakaan seorang aku. Aku yang senantiasa mencari kebahagiaan diluar sana dan hanya membawa kedukaan sepulang kembara. Amarah, tak ada cinderamata selain itu yang kubawa ketika pulang tualang, untuk meneduh dan merajuk dibawah atap gubuk kita yang rapuh.

Padahal sederhana inginmu, tak ingin aku merasakan apa yang dulu kamu rasakan. Jatuh dan bangun sendirian. Memelihara malam berteman kesunyian. Katamu "...sebabnya itu aku ada maka ceritakanlah segala kisah tualangmu", aku yang tak pernah percaya dengan semua omongkosongmu seringkali hanya membanting pintu sebagai jawaban dari pintamu itu. Aku keluar...

*

Jarak dan waktu kini membentang diantara kita. Hanya sambungan telepon seminggu sekali yang acapkali kugunakan untuk sekedar mendengar suaramu. Ada rasa hampa yang begitu dalam menganga, disana aku menggigil merana dalam kegelapan kehidupan ini. Titah suci yang seringkali kutujah dulu, kini kurindukan setengah mati. Gulita hati tanpa pelita kasihmu yang jauh. Aku butuh bulan, ibu...

*

Kebahagiaan. Misiku hanya satu, mencari bahagia dimana-mana, pernah aku mendaki gunung-gunung yang tinggi, berkemah disana barang satu-dua hari, menikmati dan mencandai perawannya alam guna mengobati kerusakan jiwa tapi seperti kembali pada semula, aku tak menemukan apa-apa! Lain halnya dengan dirimu yang--katamu ditugasi Tuhan untuk menjadi pelindungku. Kerjaanmu sepanjang waktu hanya satu, mendoakan keselamatanku.

Mengapa tak kusadari sejak dahulu, ketika kita hanya tersekat dinding bilik dibawah atap gubuk rapuh milik kita. Mungkin aku akan bercerita sepuas-puasnya perihal perih dan gegap gempita alur kehidupanku. Merasakan hangat tatap matamu yang tersaji bersama teh hangat setiap aku bangun pagi. Mengapa? "penyesalan itu selalu belakangan, yang didepan mah nuntun kambing kamunya duluan..." kau yang seringkali berseloroh ketika mendengar segala penyesalanku.

*
...mengapa, bu?
.
.
.

*

"Kasihku ini gelora, nak! Nyala apinya abadi sepanjang usia; sejauh apapun kau melangkah, sehebat apapun kau melupakanku. Kamu sudah terpatri dalam sanubari, nak! Kamu tetesan peluh airmata yang kubangga-banggakan, tak satupun rasa hina berkembang biak dalam dadaku ini. Jangan pernah sungkan, dadaku adalah sebaik-baiknya kepulangan untukmu. Sembuhkanlah disini, dipelukanku, rebahkanlah segara gundah dalam jiwamu karena tak adalagi yang bisa kuberi selain harta ini, harta yang satu-satunya kumiliki: pelukanku, nak, peluklah aku maka kan kusiangi segala belukar kesedihanmu!"


*

Gelap yang kurasa kini bukan karena malam yang hujan bertubi-tubi. Ini kegelapan sejati, kegelapan hati! Hanya ada satu yang mampu menuntunku dalam gelap ini, cahaya rembulan dari wajahmu. Bulan? Aku tak pernah menyadari bahwa bulan yang paling indah itu tak hanya bulan tanggal empatbelas, aku harusnya sadar dari dulu tentang mengapa ayahmu memberikan nama yang kamu sandang kini. Semestinya, aku sadar setiap malamku selalu bertahtakan bulan, kedamaian (puncak dari kebahagiaan) yang selalu kucari sepanjang usiaku ini. Ternyata semuanya tak jauh, ia begitu dekat, melekat dalam sela-sela nafasmu. Maka, izinkanlah aku mengaku "Mamah, maafkan anakmu. Aku sangat rindu padamu..."

*
"...pulanglah, nak! sini peluk aku!"




~




...ibukota. akhir februari yang basah


kepada Komariah, Rembulanku.


dari anakmu yang batu!