serulah dia tanpa ia mendengar suaramu - ahda imran

Senin, 24 Agustus 2015

Lanskap

o, sepanjang jalan ini
tak kuingat nama-nama
tak kutahu arah
dan sedang menuju kemana
hanya lampu-lampu jalan
dalam remang yang malas
memberiku pertanda
kehidupan masih ada
meski makna tak kutemukan
dimana-mana.

o, haruskah sejauh ini?

Tanjung Lesung, Mei 2015

Rabu, 12 Agustus 2015

Pan(y)awangan: Satu Fragmen

--g.

kau tak perlu memilah-milah diksi yang tepat untuk berbicara padaku. biarkan senyummu semisteri puncak Ciremai yang terekam dalam masing-masing dada kita...


g, aku kembali ke tempat ini. Aku pulang. Aku pulang pada segenap kenangan yang pernah menggenapkan dan mengganjilkan kita. Kabut enam pagi yang masih sama, masih seperti dulu ketika senyummu menyeringai dari balik pekatnya kabut itu. Disini, di Panawangan, tempat pertama kita merangkum berbagai cerita perihal sit uncuing, nyulurkeun, angkernya jembatan Tonjong, dan berbagai epos-epos lainnya. Jalan-jalannya masih setia, merekam jejak-jejak kita.


Pasar yang masih penuh dengan kearifan, terminal yang masih cukup santun, serta udara yang aku yakini sebagian besarnya terdiri dari saripati kesenduan ini masih sama, masih seperti perasaanku padamu. Tak kurang-tak lebih. Panawangan, mungkin nama kota ini berasal dari kata panyawangan, aku asal tebak saja, sebenarnya. Karena aku belum menemukan catatan resmi asal mula nama kota ini. Panyawangan artinya tempat untuk menerawang. Dalam buku panduan daerah Kabupaten Ciamis, kota ini dinobatkan sebagai daerah tertinggi di Tatar Galuh. Tak heran banyak sekali kita temukan titik dimana kita bisa menerawang, melihat dan memandang daerah lain di sekeliling kota ini. Coba saja kau ke tikungan Andalas, kau akan melihat daerah selatan dengan gunung Syawal sebagai latar belakangnya. Atau kau cukup berdiri di belakang koramil desa, kau akan takjub dengan keangkuhan Ciremai. Ah, Panawangan.


g, kota kita ini yang selepas maghrib saja sudah berubah menjadi kota mati, masih menyimpan hal-hal yang membuatku menjadi anak kecil yang cengeng. Perihal mendiang kakek-nenek serta handai taulan yang layak dikenang. Dinginnya kota ini tak usah kita terangkan lagi, namun kebersamaan keluarga lebih dari cukup untuk menghangatkannya. Jika ada yang bertanya padamu, "bagaimana aku bisa sampai ke Panawangan?", tinggal jawab saja begini, jika berkendara saat malam, entah dari utara atau selatan, setelah melewati Cikijing atau Kawali, lalu kau sudah menemukan suatu tempat yang berkabut. Nah, itulah Panawangan. Kota ini masih kokoh merawat kenangan kita, sama seperti kokohnya ia merawat patilasan Prabu Siliwangi.


Tapi g, ada bagian kota ini yang perlahan-lahan berubah, orang-orang berkantong tebal dari kota datang membeli lahan-lahan tetangga dan menjanjikan sebuah peradaban yang lebih maju. Industrialisasi, apalagi kalau bukan itu. Sawah-sawah, kebun-kebun yang biasa digarap dengan penuh ketabahan ditukar dengan harapan akan peradaban yang lebih maju, yang lebih modern. Sekarang semua telah berubah menjadi lahan yang siap digunakan untuk calon-calon pabrik yang angkuh itu berdiri. g, aku takut suatu saat nanti, masyarakat kota ini hanya tahu menuntut kenaikan UMR. Kadang aku sering berpikir, peradaban macam apa yang tega mengorbankan kearifan desa? Sebenarnya tak ada yang salah dengan industrialisasi, hanya saja di negara kita ini, pemangku kebijakan acapkali lengah dalam pengawasan. Hingga pembangunan menjadi tak terkendali. Di satu sisi maju, di lain sisi terbelakang. Contohnya? Tengok saja kota-kota yang mengukuhkan dirinya sebagai pusat industri saat ini. Ketimpangan sosial-ekonomi semakin menganga. Jurang pemisah antara si miskin dan kaya, apalagi. Cluster-cluster mewah untuk mereka yang punya dibuka, sedangkan yang tak punya semakin tersisih. Kerusakan lingkungan? Tak perlu dijelaskan lagi. Aku takut, g. Aku takut!


g, saat ini aku pulang lagi padamu membawa keresahan-keresahan itu. Kau yang pernah menangis di pelataran mushola sekolah kita dulu. Kau yang pernah selalu kutunggu di gerbang sekolah. Kau yang selalu ingin kutemui di jam-jam istirahat. Kau yang dulu pernah kugenggam sepanjang Borobudur. Kau yang pernah menghangatkan hujan di suatu sore. Kau yang tak pernah malu memiliki kekasih yang rajin bercelana pendek. Aku hanya ingin mengucapkan satu kalimat saja padamu, g: aku berhenti dari semua hal tentangmu. Bukan, bukan aku sudah tak mencintaimu. Sama sekali tidak. Bahkan sampai saat menulis ini, aku masih berdiri diatas janji. Bukan juga karenaku sudah menemukan seseorang yang baru. Namun, g, aku sudah menyerah. Aku mengalah kepada kenyataan. Kau mungkin memaafkan semua kesalahanku, namun ada sesuatu yang jelas-jelas tak bisa diulang. Aku mengerti, g. Aku tak ingin kau menjadi kita, aku tak ingin menjadi penghalang jalan hidupmu. Aku melepasmu. Melepasmu dari semua kenang-kenangan kita. Aku tahu g, tanpa kuminta pun kau sudah melupakan kita. Tapi g, untuk seseorang sepertimu aku harus membuat semacam monumen di momentum yang pas. Terima kasih untuk tahun-tahun yang tabah.


Dan saat ini, g, ketika kau telah berlari sebagai cita-cita, aku melepasmu dengan doa yang mudah-mudahan diaminkan semesta: berbahagialah. Seorang penyair pernah berkata, semenjak luka kunamai doa, kutahu, kehilangan tak butuh air mata.


Rumah 2015

Rabu, 05 Agustus 2015

Kisah

Ketika tak ada sedetik pun tuk bernafas
Ketika tak ada sedetik pun tuk melawan
Kau tahu kau sedang dan akan kehilangan dirimu
Menjadi orang asing yang tinggal dalam tubuhmu
Lalu kau memejamkan mata dan menjelang sesuatu
Yang jelas tiada—pagi atau kenangan tentang
Seseorang yang pernah dengan gigih duduk
Di ruang tamu rumahmu.

Kau berkata kepada entah
Dan kau mencoba menjelaskan dengan adalah-adalah
Namun kau dapati dirimu berputar di yang itu-itu saja.
Kau ingin menangis, mengenang sesuatu
Yang tak pernah ada itu. Kau tenggelam—semakin.
Kau bertanya dimana arah? Dan ruang-ruang dalam hatimu
Bergema. Dimana-dimana? Kau lelah namun tak bisa
Berhenti. Sebab berhenti lebih buruk dari yang tiada.

Dari yang hampa kembalilah kepada hampa…


Kebon Jeruk 2015