![]() |
Abbey Road |
Kita berjalan di sepanjang Abbey Road. Terhuyung-huyung, diantara sadar dan mabuk. Angin jahanam malam itu, racauanmu melagu ‘I Wanna Hold Your Hands’ tak kudengar jelas. Sayup-sayup. Barangkali tak ada yang lebih kekinian dibanding sepasang pemabuk yang meneriakkan ‘Hey, Jude!' beribu-ribu kali. Kau lalu bersandar pada tiang lampu jalan lantas terduduk menatapku yang terhuyung-huyung dalam langkah—yang demi setan manapun terlihat seperti tua bangka pengidap parkinson. “Heu!” kudengar cegukanmu serupa suara sapi yang malas bangun di hari-hari ajaib. “Maukah kau berjanji padaku untuk kali ini saja?” ucapanmu itu lambat-lambat berusaha kucerna, tapi ada sesuatu yang mengganjal, serasa ingin meluap “aaaaaaarkkk…” aku bersendawa dengan keras, seolah-olah berusaha melepaskan setan yang ada dalam diri. “Demi setan manapun, aku adalah manusia yang cukup bisa kau percaya. Ayo katakan, janji apa yang harus kupegang?”. Angin sialan kembali berdesir, sayang sekali, kupikir, tak ada suara binatang malam di sini. Kalau ada, lengkaplah sudah dugaanku, ini bukan London, tapi Panawangan; tempat aku lahir dan tumbuh, tempat segala malaikat kesepian bersemayam dengan tenang.
“Benarkah kau dapat memegang janji?” kau balik bertanya.
“Dengan menghabiskan setiap gelas bir di bar tadi,
seharusnya kau bisa menilaiku sebagai orang yang dapat memegang janji!” aku
menimpali dengan sedikit bersungut.
“Itu rakus namanya, bajingan!” kau membalas bersungut.
“Sialan! Demi setan manapun, cepat katakan apa yang harus
aku tepati akan aku buktikan bahwa aku memang bisa memegang janji!” aku
semakin kesal dengan adegan bertele-tele ini, tapi perlahan kabut mulai menyelimuti
sepanjang jalan, cahaya lampu jalan terpancar agak redup menciptakan suasana
remang yang mistik.
“Baiklah...” kau lantas berdiri, menggapai-gapai tiang lampu,
lalu mengarahkan telunjuk sialanmu itu tepat di depan hidungku. “Aku akan
berjalan ke arah berlawanan yang menuju arah kita pulang dan sebelum aku—bayanganku
tertelan kabut lalu kau benar-benar sudah tak melihat sesuatu apapun dariku. Kau harus
berjanji untuk tetap melihat ke arahku berjalan tanpa berpindah posisi sedikit
pun dari tempat kau berdiri sekarang. Mengerti?”
“Seperti itu aja? Baiklah!” aku menyanggupi dengan enteng. Perlahan
kau berjalan meninggalkanku ke arah itu, arah yang berlawanan. “Heu!” kudengar
kau cegukan sambil berjalan ke arah sana. Berkali-kali. Kabut yang menyelimuti
sekitar kita semakin tebal, aku masih di tempat tadi berdiri. Sesuai janji. Tapi
ada yang aneh, aku merasakan itu sejak langkah pertamamu, mataku semakin berat
seiring semakin tebalnya kabut, suara cegukan dan langkah kakimu menciptakan
semacam irama. Simponi yang tak asing. Lagu pengantar…
Ingatanku memutar 'Promise' milik Ben Howard, menenggelamkanku ke dalam ingatan-ingatan tentang perjalanan hidup kita, semakin dalam. Aku seperti terhisap namun dalam waktu bersamaan aku merasa tercerabut. “Ah, maut…” batinku, seketika tubuhku ambruk.