serulah dia tanpa ia mendengar suaramu - ahda imran

Sabtu, 12 September 2015

Catatan Pengantar Mabuk

Abbey Road

Kita berjalan di sepanjang Abbey Road. Terhuyung-huyung, diantara sadar dan mabuk. Angin jahanam malam itu, racauanmu melagu ‘I Wanna Hold Your Hands’ tak kudengar jelas. Sayup-sayup. Barangkali tak ada yang lebih kekinian dibanding sepasang pemabuk yang meneriakkan ‘Hey, Jude!' beribu-ribu kali. Kau lalu bersandar pada tiang lampu jalan lantas terduduk menatapku yang terhuyung-huyung dalam langkah—yang demi setan manapun terlihat seperti tua bangka pengidap parkinson. “Heu!” kudengar cegukanmu serupa suara sapi yang malas bangun di hari-hari ajaib. “Maukah kau berjanji padaku untuk kali ini saja?” ucapanmu itu lambat-lambat berusaha kucerna, tapi ada sesuatu yang mengganjal, serasa ingin meluap “aaaaaaarkkk…” aku bersendawa dengan keras, seolah-olah berusaha melepaskan setan yang ada dalam diri. “Demi setan manapun, aku adalah manusia yang cukup bisa kau percaya. Ayo katakan, janji apa yang harus kupegang?”. Angin sialan kembali berdesir, sayang sekali, kupikir, tak ada suara binatang malam di sini. Kalau ada, lengkaplah sudah dugaanku, ini bukan London, tapi Panawangan; tempat aku lahir dan tumbuh, tempat segala malaikat kesepian bersemayam dengan tenang.

“Benarkah kau dapat memegang janji?” kau balik bertanya.

“Dengan menghabiskan setiap gelas bir di bar tadi, seharusnya kau bisa menilaiku sebagai orang yang dapat memegang janji!” aku menimpali dengan sedikit bersungut.

“Itu rakus namanya, bajingan!” kau membalas bersungut.

“Sialan! Demi setan manapun, cepat katakan apa yang harus aku tepati akan aku buktikan bahwa aku memang bisa memegang janji!” aku semakin kesal dengan adegan bertele-tele ini, tapi perlahan kabut mulai menyelimuti sepanjang jalan, cahaya lampu jalan terpancar agak redup menciptakan suasana remang yang mistik.

“Baiklah...” kau lantas berdiri, menggapai-gapai tiang lampu, lalu mengarahkan telunjuk sialanmu itu tepat di depan hidungku. “Aku akan berjalan ke arah berlawanan yang menuju arah kita pulang dan sebelum aku—bayanganku tertelan kabut lalu kau benar-benar sudah tak melihat sesuatu apapun dariku. Kau harus berjanji untuk tetap melihat ke arahku berjalan tanpa berpindah posisi sedikit pun dari tempat kau berdiri sekarang. Mengerti?”

“Seperti itu aja? Baiklah!” aku menyanggupi dengan enteng. Perlahan kau berjalan meninggalkanku ke arah itu, arah yang berlawanan. “Heu!” kudengar kau cegukan sambil berjalan ke arah sana. Berkali-kali. Kabut yang menyelimuti sekitar kita semakin tebal, aku masih di tempat tadi berdiri. Sesuai janji. Tapi ada yang aneh, aku merasakan itu sejak langkah pertamamu, mataku semakin berat seiring semakin tebalnya kabut, suara cegukan dan langkah kakimu menciptakan semacam irama. Simponi yang tak asing. Lagu pengantar…

Ingatanku memutar 'Promise' milik Ben Howard, menenggelamkanku ke dalam ingatan-ingatan tentang perjalanan hidup kita, semakin dalam. Aku seperti terhisap namun dalam waktu bersamaan aku merasa tercerabut. “Ah, maut…” batinku, seketika tubuhku ambruk.


//margonda awal september 2015

sumber gambar : community.digitalmediaacademy.org

Tidak ada komentar:

Posting Komentar