"Dia akan pulang untuk membuktikan mana yang lebih kuat, langit atau matamu"
— Menenangkan Rindu, M. Aan Mansyur.
Aku bertemu dengan seseorang dalam tidurku. Padaku
ia membisikkan kalimat-kalimat kesepian. Sesungguhnya
aku dan layar-layar dan kertas-kertas kosong ini saling
membenci. Kami tak tahu siapa yang lebih dulu harus diisi.
Kata-kata, barangkali, mengutuk diri mereka sendiri
dengan tertidur di atas punggung kami. Sewaktu-waktu
mereka akan bangun dan menyiksa kami. Tulis, tulis, tulis!
Beberapa hal tanpa kami sadari mengisi ulang dirinya
sendiri, ingatan dan baterai telepon genggammu. Barangkali.
Lihatlah ada seseorang yang menangis di layar telepon
genggammu. Seluruh ingatannya dipreteli oleh seseorang,
kamu. Tentunya. Lihatlah sepasang kekasih itu, mereka
sibuk mencipakan kobaran api dari ciuman mereka. Sedangkan
kita sibuk mencari sesuatu untuk memadamkan—yang mereka
sebut ingatan—letupan-letupan yang menyerupai huruf-huruf kecil
dalam sajak ini.
Sementara aku masih membangun diriku sebagai cita-cita,
kau telah berlari sebagai karir. Aku hanya ingin menjadi
sesuatu yang sederhana untukmu. Jalan-jalan yang pernah
kita lewati bersama dengan tangan bergandengan. Meskipun
ingatan kita tak cukup kuat untuk mengingat nama-nama
mereka, jalan-jalan itu, tak pernah sama sekali membenci
kita.
Seseorang pernah berkata padaku, kunci untuk saling mengisi
hanyalah dengan saling mengingat—"andai sesederhana itu"
katamu. Dan kudapati diriku sendiri sebagai seorang
pembohong yang hebat. Karena apa? Karena aku mampu
mengingat dengan kuat. Maka kuputuskan 'tuk menuliskanmu,
suka-duka, ingatan yang saling melupakan dalam sajak ini.
Ada beberapa hal yang selalu gemar untuk dia kenang. Terlepas dari baik-buruknya, dia-yang-terlalu-candu kepada hal-hal semacam itu; yang ingin sekali ia katakan namun enggan juga untuk ia selesaikan.
Beberapa hal yang selalu seenaknya datang. Lalu pergi dengan membawa sedikit-banyak bagian dari dirinya.
Ada baiknya untuk saat-saat seperti ini, dia hanya mampu meringkuk dalam diam. Diam yang benar-benar diam—seolah-olah dia pemilik waktu, maka waktu dia hentikan pula untuknya.
Jangan! Jangan terburu-buru untuk hal-hal semacam ini. Biarkan dia merusak sekaligus memperbaiki dirinya sendiri dengan cara yang telah dia pilih: diam, ya, hanya diam.
Cobalah untuk mendengar suara-suara dari gelisah yang paling sempurna itu dalam diam. Cobalah, coba!
Jahanam! Berulang-ulang
saya memutar ‘Lagu Rantau’ milik grup
musik yang setidaknya telah memberikan saya setitik harapan bahwa masih ada
musik berkualitas nan bernas di belantika musik tanah air ini. Yap, mereka
adalah Silampukau. Sebagai informasi di awal, saya sendiri bukan seorang
kritikus musik apa-apa, hanya sebatas penikmat saja. Namun mereka, Silampukau,
telah menggerakan saya untuk setidaknya menulis sebuah ulasan sesuai kemampuan
saya.
Awalnya saya berkenalan
dengan musik-musik Silampukau hanya melalui linimasa di twitter, yap, tepatnya dari
Arman Dhani. Masdhan, begitu
biasa dia akrab disapa di linimasa, melalui akunnya berkicau tentang video,
gig, serta seluk-beluk Silampukau lainnya. Saya langsung “terjebak” di ‘Lagu Rantau’; waktu memang jahanam/kota teramat kejam/dan pekerjaan, menyita harapan,
bait pertama ditambah dengan komposisi musik yang pas, gembira namun cengeng,
cengeng namun gembira: beuh!
Silampukau dalam acara Monster of Folks di Mondo Cafe, Kemang.
Sabtu, 6 Juni 2015. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Kesempatan
untuk menyaksikan mereka secara langsung datang di acara bertajuk ‘Monster of
Folk’ yang dihelat di Mondo Cafe, Kemang. Saya datang kesana tanpa pikir
panjang seperti biasa karena saya yakin mereka bisa memenuhi ekspektasi saya.
Acara yang awalnya digelar pukul 19.30, baru dimulai 45 menit kemudian,
tepatnya 20.15. Sutasoma membuka acara tersebut dengan 3 lagu, setelah itu Bin
Idris dengan permainan gitar yang penuh distorsi membuat crowd cukup terhenyak,
lalu ditenangkan dengan kesantaian ala Harlan Broer.
Akhirnya, Silampukau pun mendapat kesempatan
dengan sambutan yang cukup wah dari crowd yang datang ke venue. Dari sambutan
itu saya bisa simpulkan bahwa sebagian besar yang datang ke venue adalah mereka
yang ingin menyaksikan Silampukau. Malam itu mereka dibantu Gabriel Mayo yang
memainkan ukulele dan pianika di beberapa lagu. Benar saja lewat ‘Ballada Harian’ mereka sukses membuka
gig mereka dengan wah, mayoritas crowd bernyanyi bersama. Manis sekali! Bagian terbaik
lagu ini adalah disaat larik awal berpadu dengan musik yang riang, Tiktok jam/dering alarm.... . Mewah nan
sederhana.
‘Bianglala’, ‘Bola Raya’, ‘Lagu Rantau’, ‘Puan Kelana’, ‘Malam Jatuh di
Surabaya’1, ‘Sang Juragan’, dan ‘Doa 1’, berturut-turut didendangkan
mereka, crowd memberikan timbal balik yang positif dengan ikut bernyanyi
bersama. Ya. Saya sendiri merasa sangat puas, dan sampai menggeleng-gelengkan
kepala dengan gig sehebat ini. Ekspresi mas Kharis ketika bernyanyi—dia selalu
menatap mikrofon ketika mengambil jeda. Kehebatan mereka ada pada lirik-lirik
yang menggambarkan kota asal mereka, Surabaya. Kegamangan-kegamangan yang
berpadu dengan irama musik yang pas. Saya sempat baca review Afrizal Malna
tentang mereka, bahwa mendengar mereka seakan-akan
musik sebagai sebuah kamar pribadi yang hanya ditujukan untuk seseorang, bukan
untuk massa.2
Sebuah karya yang baik
adalah yang apabila kita berhadapan dengannya kita seolah-olah sedang
berhadapan dengan, diri kita sendiri—meliputi kenangan-kenangan subtil tentang
yang hilang dan yang tak kembali. Silampukau telah membius saya secara
keseluruhan. Seratus!
Jakarta, 8 Juni 2015
catatan kaki:
1: saya sempat
berbincang dengan duo vokal Silampukau, mas Eki dan mas Kharis, menanyakan perihal
tragedi Ahmad Yani dalam lagu ‘Malam Jatuh
di Surabaya’. Ternyata saya salah persepsi, tak ada tragedi Ahmad Yani. Tapi
tentang jalan Ahmad Yani yang menjadi urat nadi kota Surabaya. haha, maklum belum tahu-belum pernah
kesana, saya menimpali. “Kalo di Jakarta mungkin kaya Thamrin ya mas?” saya
bertanya lagi, “Thamrin? wah ndak tahu saya, emang macet?” jawab mas Kharis.