serulah dia tanpa ia mendengar suaramu - ahda imran

Senin, 08 Juni 2015

Orkes Jahanam

Jahanam! Berulang-ulang saya memutar ‘Lagu Rantau’ milik grup musik yang setidaknya telah memberikan saya setitik harapan bahwa masih ada musik berkualitas nan bernas di belantika musik tanah air ini. Yap, mereka adalah Silampukau. Sebagai informasi di awal, saya sendiri bukan seorang kritikus musik apa-apa, hanya sebatas penikmat saja. Namun mereka, Silampukau, telah menggerakan saya untuk setidaknya menulis sebuah ulasan sesuai kemampuan saya.



Awalnya saya berkenalan dengan musik-musik Silampukau hanya melalui linimasa di twitter, yap, tepatnya dari Arman Dhani. Masdhan, begitu biasa dia akrab disapa di linimasa, melalui akunnya berkicau tentang video, gig, serta seluk-beluk Silampukau lainnya. Saya langsung “terjebak” di ‘Lagu Rantau’; waktu memang jahanam/kota teramat kejam/dan pekerjaan, menyita harapan, bait pertama ditambah dengan komposisi musik yang pas, gembira namun cengeng, cengeng namun gembira: beuh!

Silampukau dalam acara Monster of Folks di Mondo Cafe, Kemang. 

Sabtu, 6 Juni 2015. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Kesempatan untuk menyaksikan mereka secara langsung datang di acara bertajuk ‘Monster of Folk’ yang dihelat di Mondo Cafe, Kemang. Saya datang kesana tanpa pikir panjang seperti biasa karena saya yakin mereka bisa memenuhi ekspektasi saya. Acara yang awalnya digelar pukul 19.30, baru dimulai 45 menit kemudian, tepatnya 20.15. Sutasoma membuka acara tersebut dengan 3 lagu, setelah itu Bin Idris dengan permainan gitar yang penuh distorsi membuat crowd cukup terhenyak, lalu ditenangkan dengan kesantaian ala Harlan Broer.   

 Akhirnya, Silampukau pun mendapat kesempatan dengan sambutan yang cukup wah dari crowd yang datang ke venue. Dari sambutan itu saya bisa simpulkan bahwa sebagian besar yang datang ke venue adalah mereka yang ingin menyaksikan Silampukau. Malam itu mereka dibantu Gabriel Mayo yang memainkan ukulele dan pianika di beberapa lagu. Benar saja lewat ‘Ballada Harian’ mereka sukses membuka gig mereka dengan wah, mayoritas crowd bernyanyi bersama. Manis sekali! Bagian terbaik lagu ini adalah disaat larik awal berpadu dengan musik yang riang, Tiktok jam/dering alarm.... . Mewah nan sederhana.

Bianglala’, ‘Bola Raya’, ‘Lagu Rantau’, ‘Puan Kelana’, ‘Malam Jatuh di Surabaya’1, ‘Sang Juragan’, dan ‘Doa 1’, berturut-turut didendangkan mereka, crowd memberikan timbal balik yang positif dengan ikut bernyanyi bersama. Ya. Saya sendiri merasa sangat puas, dan sampai menggeleng-gelengkan kepala dengan gig sehebat ini. Ekspresi mas Kharis ketika bernyanyi—dia selalu menatap mikrofon ketika mengambil jeda. Kehebatan mereka ada pada lirik-lirik yang menggambarkan kota asal mereka, Surabaya. Kegamangan-kegamangan yang berpadu dengan irama musik yang pas. Saya sempat baca review Afrizal Malna tentang mereka, bahwa mendengar mereka seakan-akan musik sebagai sebuah kamar pribadi yang hanya ditujukan untuk seseorang, bukan untuk massa.2

Sebuah karya yang baik adalah yang apabila kita berhadapan dengannya kita seolah-olah sedang berhadapan dengan, diri kita sendiri—meliputi kenangan-kenangan subtil tentang yang hilang dan yang tak kembali. Silampukau telah membius saya secara keseluruhan. Seratus!

Jakarta, 8 Juni 2015



catatan kaki: 
1: saya sempat berbincang dengan duo vokal Silampukau, mas Eki dan mas Kharis, menanyakan perihal tragedi Ahmad Yani dalam lagu ‘Malam Jatuh di Surabaya’. Ternyata saya salah persepsi, tak ada tragedi Ahmad Yani. Tapi tentang jalan Ahmad Yani yang menjadi urat nadi kota Surabaya. haha, maklum belum tahu-belum pernah kesana, saya menimpali. “Kalo di Jakarta mungkin kaya Thamrin ya mas?” saya bertanya lagi, “Thamrin?  wah ndak tahu saya, emang macet?” jawab mas Kharis.
2: Diatonik Kota, Bola, dan Vodka oleh Afrizal Malna.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar