serulah dia tanpa ia mendengar suaramu - ahda imran

Jumat, 08 September 2017

Meriang




Setelah berbatang-batang sampoerna mild dan samsoe, bercangkir-cangkir kopi tirthoyudho buah tangan dari seorang teman kantor. Ada satu hal yang lambat saya sadari. Saya memang tak bisa menulis. Tak pernah bisa. Belum pula terror dari artikel-artikel daring yang saya temukan di media sosial. Semuanya terasa begitu melelahkan. Semuanya begitu bergegas. Pagi, ketika berkendara bersama driver ojek online menuju kantor, saya berencana untuk membaca esai-esai yang membedah puisi Joko Pinurbo dari sisi ketubuhan. Apadaya, belum sampai ke meja kerja, saya iseng membuka linimasa twitter lalu muncul kutipan dari salah satu antologi puisi terbarunya, ‘Buku Latihan Tidur’. Rajin pangkal kaya // Jatuh pangkal bangun, begitulah kutipannya. Sial, kesadaran dan keresahan Jokpin akan bahasa sudah sedemikian mengerikan. Saya selalu tak habis pikir dengan dia bagaimana bisa menulis puisi yang tenang sekaligus nakal sekaligus tengil tanpa harus menjadi naif dengan mengejar-ngejar rima dan kaidah yang mengungkung puisi?! Dari sini saya menyimpulkan, puisi telah begitu jauh meninggalkan saya. Di kala saya sibuk dengan ingatan-ingatan dan kait-kelindan berbagai hal, orang-orang di luar diri saya terus menulis puisi atau katakanlah puisi terus ditulis bagaimanapun itu. Memberi kebahagiaan, memberi kekuatan, memberi harapan. Belum sempat saya mencerna kejadian di atas, saya teringat untuk mencari Animal Farm terjemahan Mahbub Djunaidi, saya penasaran dengan hasil terjemahannya atas saran dari teman-teman komunitas. Disela-sela jam kerja, saya ketik “animal farm mahbub djunaidi” di mesin pencari. Ternyata, oleh Mahbub Animal Farm diterjemahkan menjadi Binatangisme. Langgas! Ada beberapa toko daring yang masih punya stok  terjemahan buku itu. Tapi saya malah penasaran dengan sosok si penerjemah, yang adalah tokoh jurnalis sekaligus penulis yang mengibaratkan dirinya sebagai tukang loak lewat kredo “saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata”. Lantas tersesatlah saya ke http://pojokmahbubdjunaidi.blogspot.co.id/, blog yang didirikan oleh teman-teman mahasiswa UIN Ciputat. Isinya antara lain kumpulan esai dan tulisan Mahbub yang pernah terbit di berbagai media. Saya terpekur, antara takdzim dan melongo membaca isi dari blog tersebut. Dia menulis hal-hal apa saja dengan presisi, bernas namun juga dengan humor yang seenak jidat. Sungguh hari yang penuh dengan teror bahasa. Pada akhirnya dalam perasaan yang diliputi kegamangan, sambil menyandarkan punggung di kursi kerja, saya lebih memutuskan untuk memutar Obituari Air Mata milik Sisirtanah dari pelantam jinjing buatan Tiongkok.

Kita tuan bagi masing-masing
Keinginan-keinginan…

Equity, 8 September 2017

Rabu, 26 Juli 2017

#3

bagaimana aku bisa mempercayaimu apabila kau tak membaca dan semakin jauh dari buku-buku?

Rabu, 19 Juli 2017

Terima Kasih, Papa!

terima kasih, papa! hidup memang busuk namun akan lebih busuk apabila kita menyerah kepada hidup. barangkali aku akan sampai kepada daratan, barangkali juga aku tak akan sampai. terima kasih telah mengajariku kembali doa-doa. kubawa perahu ini—dalam samudera, kubiarkan terombang-ambing dalam hidup yang bergelora. 


post-scriptum: terima kasih kepada kurt vonnegut untuk perkenalan dengan papa. terima kasih kepada shidiq, pecandu buku jakarta yang sudah meminjamkan novel ini. terima kasih juga buat rie yang sudah mau-maunya menjadi penjamin peminjaman buku ini.
 

Selasa, 18 Juli 2017

#2

sepanjang mencari ke utara, yang kutemukan selatan lagi dan lagi. sepanjang mencari ke timur, yang kutemukan barat lagi dan lagi.

#1

aku ingin tersesat ke dalam puisi dan melupakan semua jalan untuk kembali.

Sabtu, 15 Juli 2017

Kita Pernah Membuat Rumah

kita pernah membuat rumah, gadisku. dari brosur-brosur perumahan dengan cicilan murah di tepi kota. halaman depan kususun dari buku-buku, potretmu kupajang di ruang tamu, dan kamar tidur yang bersih dari hantu masa lalu.

kita pernah membuat rumah, gadisku. sebelum mimpi-mimpi millenial menyergap kita. tiket-tiket penerbangan, baju-baju branded, gawai-gawai mutakhir yang pada akhirnya membuat kita tersihir.

kita pernah membuat rumah, gadisku. ketika di luar orang-orang menyembah eropa tapi setiap pulang, dengan melihatmu, aku selalu merasa tiba di asia. lalu kita tutup pintu dari semua kebusukan peradaban dan kembali pada kodrat primordial.

kita pernah membuat rumah, gadisku. sebelum kunci kesadaranmu hilang. mungkin kau sengaja, mungkin juga kau tak sengaja. barangkali eropa, barangkali asia, barangkali afrika. namun bahaya selalu datang dari mana saja. sedang aku terus mencarimu walau hanya tinggal longsong belaka.

kita pernah membuat rumah, gadisku. tapi, apalah arti sebuah rumah jika yang kau inginkan adalah  kamar-kamar hotel dan apartemen?

maret-juli 2017