serulah dia tanpa ia mendengar suaramu - ahda imran

Jumat, 08 September 2017

Meriang




Setelah berbatang-batang sampoerna mild dan samsoe, bercangkir-cangkir kopi tirthoyudho buah tangan dari seorang teman kantor. Ada satu hal yang lambat saya sadari. Saya memang tak bisa menulis. Tak pernah bisa. Belum pula terror dari artikel-artikel daring yang saya temukan di media sosial. Semuanya terasa begitu melelahkan. Semuanya begitu bergegas. Pagi, ketika berkendara bersama driver ojek online menuju kantor, saya berencana untuk membaca esai-esai yang membedah puisi Joko Pinurbo dari sisi ketubuhan. Apadaya, belum sampai ke meja kerja, saya iseng membuka linimasa twitter lalu muncul kutipan dari salah satu antologi puisi terbarunya, ‘Buku Latihan Tidur’. Rajin pangkal kaya // Jatuh pangkal bangun, begitulah kutipannya. Sial, kesadaran dan keresahan Jokpin akan bahasa sudah sedemikian mengerikan. Saya selalu tak habis pikir dengan dia bagaimana bisa menulis puisi yang tenang sekaligus nakal sekaligus tengil tanpa harus menjadi naif dengan mengejar-ngejar rima dan kaidah yang mengungkung puisi?! Dari sini saya menyimpulkan, puisi telah begitu jauh meninggalkan saya. Di kala saya sibuk dengan ingatan-ingatan dan kait-kelindan berbagai hal, orang-orang di luar diri saya terus menulis puisi atau katakanlah puisi terus ditulis bagaimanapun itu. Memberi kebahagiaan, memberi kekuatan, memberi harapan. Belum sempat saya mencerna kejadian di atas, saya teringat untuk mencari Animal Farm terjemahan Mahbub Djunaidi, saya penasaran dengan hasil terjemahannya atas saran dari teman-teman komunitas. Disela-sela jam kerja, saya ketik “animal farm mahbub djunaidi” di mesin pencari. Ternyata, oleh Mahbub Animal Farm diterjemahkan menjadi Binatangisme. Langgas! Ada beberapa toko daring yang masih punya stok  terjemahan buku itu. Tapi saya malah penasaran dengan sosok si penerjemah, yang adalah tokoh jurnalis sekaligus penulis yang mengibaratkan dirinya sebagai tukang loak lewat kredo “saya menulis ikhwal apa saja yang lewat di depan mata”. Lantas tersesatlah saya ke http://pojokmahbubdjunaidi.blogspot.co.id/, blog yang didirikan oleh teman-teman mahasiswa UIN Ciputat. Isinya antara lain kumpulan esai dan tulisan Mahbub yang pernah terbit di berbagai media. Saya terpekur, antara takdzim dan melongo membaca isi dari blog tersebut. Dia menulis hal-hal apa saja dengan presisi, bernas namun juga dengan humor yang seenak jidat. Sungguh hari yang penuh dengan teror bahasa. Pada akhirnya dalam perasaan yang diliputi kegamangan, sambil menyandarkan punggung di kursi kerja, saya lebih memutuskan untuk memutar Obituari Air Mata milik Sisirtanah dari pelantam jinjing buatan Tiongkok.

Kita tuan bagi masing-masing
Keinginan-keinginan…

Equity, 8 September 2017

Rabu, 26 Juli 2017

#3

bagaimana aku bisa mempercayaimu apabila kau tak membaca dan semakin jauh dari buku-buku?

Rabu, 19 Juli 2017

Terima Kasih, Papa!

terima kasih, papa! hidup memang busuk namun akan lebih busuk apabila kita menyerah kepada hidup. barangkali aku akan sampai kepada daratan, barangkali juga aku tak akan sampai. terima kasih telah mengajariku kembali doa-doa. kubawa perahu ini—dalam samudera, kubiarkan terombang-ambing dalam hidup yang bergelora. 


post-scriptum: terima kasih kepada kurt vonnegut untuk perkenalan dengan papa. terima kasih kepada shidiq, pecandu buku jakarta yang sudah meminjamkan novel ini. terima kasih juga buat rie yang sudah mau-maunya menjadi penjamin peminjaman buku ini.
 

Selasa, 18 Juli 2017

#2

sepanjang mencari ke utara, yang kutemukan selatan lagi dan lagi. sepanjang mencari ke timur, yang kutemukan barat lagi dan lagi.

#1

aku ingin tersesat ke dalam puisi dan melupakan semua jalan untuk kembali.

Sabtu, 15 Juli 2017

Kita Pernah Membuat Rumah

kita pernah membuat rumah, gadisku. dari brosur-brosur perumahan dengan cicilan murah di tepi kota. halaman depan kususun dari buku-buku, potretmu kupajang di ruang tamu, dan kamar tidur yang bersih dari hantu masa lalu.

kita pernah membuat rumah, gadisku. sebelum mimpi-mimpi millenial menyergap kita. tiket-tiket penerbangan, baju-baju branded, gawai-gawai mutakhir yang pada akhirnya membuat kita tersihir.

kita pernah membuat rumah, gadisku. ketika di luar orang-orang menyembah eropa tapi setiap pulang, dengan melihatmu, aku selalu merasa tiba di asia. lalu kita tutup pintu dari semua kebusukan peradaban dan kembali pada kodrat primordial.

kita pernah membuat rumah, gadisku. sebelum kunci kesadaranmu hilang. mungkin kau sengaja, mungkin juga kau tak sengaja. barangkali eropa, barangkali asia, barangkali afrika. namun bahaya selalu datang dari mana saja. sedang aku terus mencarimu walau hanya tinggal longsong belaka.

kita pernah membuat rumah, gadisku. tapi, apalah arti sebuah rumah jika yang kau inginkan adalah  kamar-kamar hotel dan apartemen?

maret-juli 2017

Senin, 02 November 2015

Perayaan

: asma

nir, katakan padaku: selain tangis
adakah lagi yang bisa kutadahkan
di hadapan runcing waktu?

//nopember 2015

Sabtu, 12 September 2015

Catatan Pengantar Mabuk

Abbey Road

Kita berjalan di sepanjang Abbey Road. Terhuyung-huyung, diantara sadar dan mabuk. Angin jahanam malam itu, racauanmu melagu ‘I Wanna Hold Your Hands’ tak kudengar jelas. Sayup-sayup. Barangkali tak ada yang lebih kekinian dibanding sepasang pemabuk yang meneriakkan ‘Hey, Jude!' beribu-ribu kali. Kau lalu bersandar pada tiang lampu jalan lantas terduduk menatapku yang terhuyung-huyung dalam langkah—yang demi setan manapun terlihat seperti tua bangka pengidap parkinson. “Heu!” kudengar cegukanmu serupa suara sapi yang malas bangun di hari-hari ajaib. “Maukah kau berjanji padaku untuk kali ini saja?” ucapanmu itu lambat-lambat berusaha kucerna, tapi ada sesuatu yang mengganjal, serasa ingin meluap “aaaaaaarkkk…” aku bersendawa dengan keras, seolah-olah berusaha melepaskan setan yang ada dalam diri. “Demi setan manapun, aku adalah manusia yang cukup bisa kau percaya. Ayo katakan, janji apa yang harus kupegang?”. Angin sialan kembali berdesir, sayang sekali, kupikir, tak ada suara binatang malam di sini. Kalau ada, lengkaplah sudah dugaanku, ini bukan London, tapi Panawangan; tempat aku lahir dan tumbuh, tempat segala malaikat kesepian bersemayam dengan tenang.

“Benarkah kau dapat memegang janji?” kau balik bertanya.

“Dengan menghabiskan setiap gelas bir di bar tadi, seharusnya kau bisa menilaiku sebagai orang yang dapat memegang janji!” aku menimpali dengan sedikit bersungut.

“Itu rakus namanya, bajingan!” kau membalas bersungut.

“Sialan! Demi setan manapun, cepat katakan apa yang harus aku tepati akan aku buktikan bahwa aku memang bisa memegang janji!” aku semakin kesal dengan adegan bertele-tele ini, tapi perlahan kabut mulai menyelimuti sepanjang jalan, cahaya lampu jalan terpancar agak redup menciptakan suasana remang yang mistik.

“Baiklah...” kau lantas berdiri, menggapai-gapai tiang lampu, lalu mengarahkan telunjuk sialanmu itu tepat di depan hidungku. “Aku akan berjalan ke arah berlawanan yang menuju arah kita pulang dan sebelum aku—bayanganku tertelan kabut lalu kau benar-benar sudah tak melihat sesuatu apapun dariku. Kau harus berjanji untuk tetap melihat ke arahku berjalan tanpa berpindah posisi sedikit pun dari tempat kau berdiri sekarang. Mengerti?”

“Seperti itu aja? Baiklah!” aku menyanggupi dengan enteng. Perlahan kau berjalan meninggalkanku ke arah itu, arah yang berlawanan. “Heu!” kudengar kau cegukan sambil berjalan ke arah sana. Berkali-kali. Kabut yang menyelimuti sekitar kita semakin tebal, aku masih di tempat tadi berdiri. Sesuai janji. Tapi ada yang aneh, aku merasakan itu sejak langkah pertamamu, mataku semakin berat seiring semakin tebalnya kabut, suara cegukan dan langkah kakimu menciptakan semacam irama. Simponi yang tak asing. Lagu pengantar…

Ingatanku memutar 'Promise' milik Ben Howard, menenggelamkanku ke dalam ingatan-ingatan tentang perjalanan hidup kita, semakin dalam. Aku seperti terhisap namun dalam waktu bersamaan aku merasa tercerabut. “Ah, maut…” batinku, seketika tubuhku ambruk.


//margonda awal september 2015

sumber gambar : community.digitalmediaacademy.org

Senin, 24 Agustus 2015

Lanskap

o, sepanjang jalan ini
tak kuingat nama-nama
tak kutahu arah
dan sedang menuju kemana
hanya lampu-lampu jalan
dalam remang yang malas
memberiku pertanda
kehidupan masih ada
meski makna tak kutemukan
dimana-mana.

o, haruskah sejauh ini?

Tanjung Lesung, Mei 2015

Rabu, 12 Agustus 2015

Pan(y)awangan: Satu Fragmen

--g.

kau tak perlu memilah-milah diksi yang tepat untuk berbicara padaku. biarkan senyummu semisteri puncak Ciremai yang terekam dalam masing-masing dada kita...


g, aku kembali ke tempat ini. Aku pulang. Aku pulang pada segenap kenangan yang pernah menggenapkan dan mengganjilkan kita. Kabut enam pagi yang masih sama, masih seperti dulu ketika senyummu menyeringai dari balik pekatnya kabut itu. Disini, di Panawangan, tempat pertama kita merangkum berbagai cerita perihal sit uncuing, nyulurkeun, angkernya jembatan Tonjong, dan berbagai epos-epos lainnya. Jalan-jalannya masih setia, merekam jejak-jejak kita.


Pasar yang masih penuh dengan kearifan, terminal yang masih cukup santun, serta udara yang aku yakini sebagian besarnya terdiri dari saripati kesenduan ini masih sama, masih seperti perasaanku padamu. Tak kurang-tak lebih. Panawangan, mungkin nama kota ini berasal dari kata panyawangan, aku asal tebak saja, sebenarnya. Karena aku belum menemukan catatan resmi asal mula nama kota ini. Panyawangan artinya tempat untuk menerawang. Dalam buku panduan daerah Kabupaten Ciamis, kota ini dinobatkan sebagai daerah tertinggi di Tatar Galuh. Tak heran banyak sekali kita temukan titik dimana kita bisa menerawang, melihat dan memandang daerah lain di sekeliling kota ini. Coba saja kau ke tikungan Andalas, kau akan melihat daerah selatan dengan gunung Syawal sebagai latar belakangnya. Atau kau cukup berdiri di belakang koramil desa, kau akan takjub dengan keangkuhan Ciremai. Ah, Panawangan.


g, kota kita ini yang selepas maghrib saja sudah berubah menjadi kota mati, masih menyimpan hal-hal yang membuatku menjadi anak kecil yang cengeng. Perihal mendiang kakek-nenek serta handai taulan yang layak dikenang. Dinginnya kota ini tak usah kita terangkan lagi, namun kebersamaan keluarga lebih dari cukup untuk menghangatkannya. Jika ada yang bertanya padamu, "bagaimana aku bisa sampai ke Panawangan?", tinggal jawab saja begini, jika berkendara saat malam, entah dari utara atau selatan, setelah melewati Cikijing atau Kawali, lalu kau sudah menemukan suatu tempat yang berkabut. Nah, itulah Panawangan. Kota ini masih kokoh merawat kenangan kita, sama seperti kokohnya ia merawat patilasan Prabu Siliwangi.


Tapi g, ada bagian kota ini yang perlahan-lahan berubah, orang-orang berkantong tebal dari kota datang membeli lahan-lahan tetangga dan menjanjikan sebuah peradaban yang lebih maju. Industrialisasi, apalagi kalau bukan itu. Sawah-sawah, kebun-kebun yang biasa digarap dengan penuh ketabahan ditukar dengan harapan akan peradaban yang lebih maju, yang lebih modern. Sekarang semua telah berubah menjadi lahan yang siap digunakan untuk calon-calon pabrik yang angkuh itu berdiri. g, aku takut suatu saat nanti, masyarakat kota ini hanya tahu menuntut kenaikan UMR. Kadang aku sering berpikir, peradaban macam apa yang tega mengorbankan kearifan desa? Sebenarnya tak ada yang salah dengan industrialisasi, hanya saja di negara kita ini, pemangku kebijakan acapkali lengah dalam pengawasan. Hingga pembangunan menjadi tak terkendali. Di satu sisi maju, di lain sisi terbelakang. Contohnya? Tengok saja kota-kota yang mengukuhkan dirinya sebagai pusat industri saat ini. Ketimpangan sosial-ekonomi semakin menganga. Jurang pemisah antara si miskin dan kaya, apalagi. Cluster-cluster mewah untuk mereka yang punya dibuka, sedangkan yang tak punya semakin tersisih. Kerusakan lingkungan? Tak perlu dijelaskan lagi. Aku takut, g. Aku takut!


g, saat ini aku pulang lagi padamu membawa keresahan-keresahan itu. Kau yang pernah menangis di pelataran mushola sekolah kita dulu. Kau yang pernah selalu kutunggu di gerbang sekolah. Kau yang selalu ingin kutemui di jam-jam istirahat. Kau yang dulu pernah kugenggam sepanjang Borobudur. Kau yang pernah menghangatkan hujan di suatu sore. Kau yang tak pernah malu memiliki kekasih yang rajin bercelana pendek. Aku hanya ingin mengucapkan satu kalimat saja padamu, g: aku berhenti dari semua hal tentangmu. Bukan, bukan aku sudah tak mencintaimu. Sama sekali tidak. Bahkan sampai saat menulis ini, aku masih berdiri diatas janji. Bukan juga karenaku sudah menemukan seseorang yang baru. Namun, g, aku sudah menyerah. Aku mengalah kepada kenyataan. Kau mungkin memaafkan semua kesalahanku, namun ada sesuatu yang jelas-jelas tak bisa diulang. Aku mengerti, g. Aku tak ingin kau menjadi kita, aku tak ingin menjadi penghalang jalan hidupmu. Aku melepasmu. Melepasmu dari semua kenang-kenangan kita. Aku tahu g, tanpa kuminta pun kau sudah melupakan kita. Tapi g, untuk seseorang sepertimu aku harus membuat semacam monumen di momentum yang pas. Terima kasih untuk tahun-tahun yang tabah.


Dan saat ini, g, ketika kau telah berlari sebagai cita-cita, aku melepasmu dengan doa yang mudah-mudahan diaminkan semesta: berbahagialah. Seorang penyair pernah berkata, semenjak luka kunamai doa, kutahu, kehilangan tak butuh air mata.


Rumah 2015

Rabu, 05 Agustus 2015

Kisah

Ketika tak ada sedetik pun tuk bernafas
Ketika tak ada sedetik pun tuk melawan
Kau tahu kau sedang dan akan kehilangan dirimu
Menjadi orang asing yang tinggal dalam tubuhmu
Lalu kau memejamkan mata dan menjelang sesuatu
Yang jelas tiada—pagi atau kenangan tentang
Seseorang yang pernah dengan gigih duduk
Di ruang tamu rumahmu.

Kau berkata kepada entah
Dan kau mencoba menjelaskan dengan adalah-adalah
Namun kau dapati dirimu berputar di yang itu-itu saja.
Kau ingin menangis, mengenang sesuatu
Yang tak pernah ada itu. Kau tenggelam—semakin.
Kau bertanya dimana arah? Dan ruang-ruang dalam hatimu
Bergema. Dimana-dimana? Kau lelah namun tak bisa
Berhenti. Sebab berhenti lebih buruk dari yang tiada.

Dari yang hampa kembalilah kepada hampa…


Kebon Jeruk 2015

Minggu, 21 Juni 2015

Menjadi Huruf Kecil

    "Dia akan pulang untuk
     membuktikan mana yang
     lebih kuat, langit atau matamu"
     — Menenangkan Rindu, M. Aan Mansyur.

Aku bertemu dengan seseorang dalam tidurku. Padaku
ia membisikkan kalimat-kalimat kesepian. Sesungguhnya
aku dan layar-layar dan kertas-kertas kosong ini saling
membenci. Kami tak tahu siapa yang lebih dulu harus diisi.
Kata-kata, barangkali, mengutuk diri mereka sendiri
dengan tertidur di atas punggung kami. Sewaktu-waktu
mereka akan bangun dan menyiksa kami. Tulis, tulis, tulis!
Beberapa hal tanpa kami sadari mengisi ulang dirinya
sendiri, ingatan dan baterai telepon genggammu. Barangkali.

Lihatlah ada seseorang yang menangis di layar telepon
genggammu. Seluruh ingatannya dipreteli oleh seseorang,
kamu. Tentunya. Lihatlah sepasang kekasih itu, mereka
sibuk mencipakan kobaran api dari ciuman mereka. Sedangkan
kita sibuk mencari sesuatu untuk memadamkan—yang mereka
sebut ingatan—letupan-letupan yang menyerupai huruf-huruf kecil
dalam sajak ini.

Sementara aku masih membangun diriku sebagai cita-cita,
kau telah berlari sebagai karir. Aku hanya ingin menjadi
sesuatu yang sederhana untukmu. Jalan-jalan yang pernah
kita lewati bersama dengan tangan bergandengan. Meskipun
ingatan kita tak cukup kuat untuk mengingat nama-nama
mereka, jalan-jalan itu, tak pernah sama sekali membenci
kita.

Seseorang pernah berkata padaku, kunci untuk saling mengisi
hanyalah dengan saling mengingat—"andai sesederhana itu"
katamu. Dan kudapati diriku sendiri sebagai seorang
pembohong yang hebat. Karena apa? Karena aku mampu
mengingat dengan kuat. Maka kuputuskan 'tuk menuliskanmu,
suka-duka, ingatan yang saling melupakan dalam sajak ini.

Kebon Jeruk, 21 Juni 2015

Rabu, 17 Juni 2015

Tigapagi dan Hal-Hal yang Selalu Mengetuk Pintu Kenangan




Ada beberapa hal yang selalu gemar untuk dia kenang. Terlepas dari baik-buruknya, dia-yang-terlalu-candu kepada hal-hal semacam itu; yang ingin sekali ia katakan namun enggan juga untuk ia selesaikan.

Beberapa hal yang selalu seenaknya datang. Lalu pergi dengan membawa sedikit-banyak bagian dari dirinya.

Ada baiknya untuk saat-saat seperti ini, dia hanya mampu meringkuk dalam diam. Diam yang benar-benar diam—seolah-olah dia pemilik waktu, maka waktu dia hentikan pula untuknya.

Jangan! Jangan terburu-buru untuk hal-hal semacam ini. Biarkan dia merusak sekaligus memperbaiki dirinya sendiri dengan cara yang telah dia pilih: diam, ya, hanya diam.

Cobalah untuk mendengar suara-suara dari gelisah yang paling sempurna itu dalam diam. Cobalah, coba!


//tigapagi.

Senin, 08 Juni 2015

Orkes Jahanam

Jahanam! Berulang-ulang saya memutar ‘Lagu Rantau’ milik grup musik yang setidaknya telah memberikan saya setitik harapan bahwa masih ada musik berkualitas nan bernas di belantika musik tanah air ini. Yap, mereka adalah Silampukau. Sebagai informasi di awal, saya sendiri bukan seorang kritikus musik apa-apa, hanya sebatas penikmat saja. Namun mereka, Silampukau, telah menggerakan saya untuk setidaknya menulis sebuah ulasan sesuai kemampuan saya.



Awalnya saya berkenalan dengan musik-musik Silampukau hanya melalui linimasa di twitter, yap, tepatnya dari Arman Dhani. Masdhan, begitu biasa dia akrab disapa di linimasa, melalui akunnya berkicau tentang video, gig, serta seluk-beluk Silampukau lainnya. Saya langsung “terjebak” di ‘Lagu Rantau’; waktu memang jahanam/kota teramat kejam/dan pekerjaan, menyita harapan, bait pertama ditambah dengan komposisi musik yang pas, gembira namun cengeng, cengeng namun gembira: beuh!

Silampukau dalam acara Monster of Folks di Mondo Cafe, Kemang. 

Sabtu, 6 Juni 2015. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Kesempatan untuk menyaksikan mereka secara langsung datang di acara bertajuk ‘Monster of Folk’ yang dihelat di Mondo Cafe, Kemang. Saya datang kesana tanpa pikir panjang seperti biasa karena saya yakin mereka bisa memenuhi ekspektasi saya. Acara yang awalnya digelar pukul 19.30, baru dimulai 45 menit kemudian, tepatnya 20.15. Sutasoma membuka acara tersebut dengan 3 lagu, setelah itu Bin Idris dengan permainan gitar yang penuh distorsi membuat crowd cukup terhenyak, lalu ditenangkan dengan kesantaian ala Harlan Broer.   

 Akhirnya, Silampukau pun mendapat kesempatan dengan sambutan yang cukup wah dari crowd yang datang ke venue. Dari sambutan itu saya bisa simpulkan bahwa sebagian besar yang datang ke venue adalah mereka yang ingin menyaksikan Silampukau. Malam itu mereka dibantu Gabriel Mayo yang memainkan ukulele dan pianika di beberapa lagu. Benar saja lewat ‘Ballada Harian’ mereka sukses membuka gig mereka dengan wah, mayoritas crowd bernyanyi bersama. Manis sekali! Bagian terbaik lagu ini adalah disaat larik awal berpadu dengan musik yang riang, Tiktok jam/dering alarm.... . Mewah nan sederhana.

Bianglala’, ‘Bola Raya’, ‘Lagu Rantau’, ‘Puan Kelana’, ‘Malam Jatuh di Surabaya’1, ‘Sang Juragan’, dan ‘Doa 1’, berturut-turut didendangkan mereka, crowd memberikan timbal balik yang positif dengan ikut bernyanyi bersama. Ya. Saya sendiri merasa sangat puas, dan sampai menggeleng-gelengkan kepala dengan gig sehebat ini. Ekspresi mas Kharis ketika bernyanyi—dia selalu menatap mikrofon ketika mengambil jeda. Kehebatan mereka ada pada lirik-lirik yang menggambarkan kota asal mereka, Surabaya. Kegamangan-kegamangan yang berpadu dengan irama musik yang pas. Saya sempat baca review Afrizal Malna tentang mereka, bahwa mendengar mereka seakan-akan musik sebagai sebuah kamar pribadi yang hanya ditujukan untuk seseorang, bukan untuk massa.2

Sebuah karya yang baik adalah yang apabila kita berhadapan dengannya kita seolah-olah sedang berhadapan dengan, diri kita sendiri—meliputi kenangan-kenangan subtil tentang yang hilang dan yang tak kembali. Silampukau telah membius saya secara keseluruhan. Seratus!

Jakarta, 8 Juni 2015



catatan kaki: 
1: saya sempat berbincang dengan duo vokal Silampukau, mas Eki dan mas Kharis, menanyakan perihal tragedi Ahmad Yani dalam lagu ‘Malam Jatuh di Surabaya’. Ternyata saya salah persepsi, tak ada tragedi Ahmad Yani. Tapi tentang jalan Ahmad Yani yang menjadi urat nadi kota Surabaya. haha, maklum belum tahu-belum pernah kesana, saya menimpali. “Kalo di Jakarta mungkin kaya Thamrin ya mas?” saya bertanya lagi, “Thamrin?  wah ndak tahu saya, emang macet?” jawab mas Kharis.
2: Diatonik Kota, Bola, dan Vodka oleh Afrizal Malna.


Selasa, 02 Juni 2015

#1

Mencariku

ia pergi ke lembah itu—
mencariku! lembah yang
tak berangin tak bersuara
sibuk dalam lengang semata
ia mendengar pada segala

ia mendengar rol-rol
tetikus, bit-bit memori,
laju-laju mesin pencari.
ia temukan; sepi, sepi, sepi!

ia masih sebab
bingung mencariku.
dalam lubuk kata,
kurangkum sepi untuknya.

Kebon Jeruk 2015