Jumat, 08 September 2017
Meriang
Rabu, 26 Juli 2017
Rabu, 19 Juli 2017
Terima Kasih, Papa!
terima kasih, papa! hidup memang busuk namun akan lebih busuk apabila kita menyerah kepada hidup. barangkali aku akan sampai kepada daratan, barangkali juga aku tak akan sampai. terima kasih telah mengajariku kembali doa-doa. kubawa perahu ini—dalam samudera, kubiarkan terombang-ambing dalam hidup yang bergelora.
Selasa, 18 Juli 2017
Sabtu, 15 Juli 2017
Kita Pernah Membuat Rumah
kita pernah membuat rumah, gadisku. dari brosur-brosur perumahan dengan cicilan murah di tepi kota. halaman depan kususun dari buku-buku, potretmu kupajang di ruang tamu, dan kamar tidur yang bersih dari hantu masa lalu.
kita pernah membuat rumah, gadisku. sebelum mimpi-mimpi millenial menyergap kita. tiket-tiket penerbangan, baju-baju branded, gawai-gawai mutakhir yang pada akhirnya membuat kita tersihir.
kita pernah membuat rumah, gadisku. ketika di luar orang-orang menyembah eropa tapi setiap pulang, dengan melihatmu, aku selalu merasa tiba di asia. lalu kita tutup pintu dari semua kebusukan peradaban dan kembali pada kodrat primordial.
kita pernah membuat rumah, gadisku. sebelum kunci kesadaranmu hilang. mungkin kau sengaja, mungkin juga kau tak sengaja. barangkali eropa, barangkali asia, barangkali afrika. namun bahaya selalu datang dari mana saja. sedang aku terus mencarimu walau hanya tinggal longsong belaka.
kita pernah membuat rumah, gadisku. tapi, apalah arti sebuah rumah jika yang kau inginkan adalah kamar-kamar hotel dan apartemen?
maret-juli 2017
Senin, 02 November 2015
Perayaan
: asma
nir, katakan padaku: selain tangis
adakah lagi yang bisa kutadahkan
di hadapan runcing waktu?
//nopember 2015
Sabtu, 12 September 2015
Catatan Pengantar Mabuk
![]() |
Abbey Road |
Kita berjalan di sepanjang Abbey Road. Terhuyung-huyung, diantara sadar dan mabuk. Angin jahanam malam itu, racauanmu melagu ‘I Wanna Hold Your Hands’ tak kudengar jelas. Sayup-sayup. Barangkali tak ada yang lebih kekinian dibanding sepasang pemabuk yang meneriakkan ‘Hey, Jude!' beribu-ribu kali. Kau lalu bersandar pada tiang lampu jalan lantas terduduk menatapku yang terhuyung-huyung dalam langkah—yang demi setan manapun terlihat seperti tua bangka pengidap parkinson. “Heu!” kudengar cegukanmu serupa suara sapi yang malas bangun di hari-hari ajaib. “Maukah kau berjanji padaku untuk kali ini saja?” ucapanmu itu lambat-lambat berusaha kucerna, tapi ada sesuatu yang mengganjal, serasa ingin meluap “aaaaaaarkkk…” aku bersendawa dengan keras, seolah-olah berusaha melepaskan setan yang ada dalam diri. “Demi setan manapun, aku adalah manusia yang cukup bisa kau percaya. Ayo katakan, janji apa yang harus kupegang?”. Angin sialan kembali berdesir, sayang sekali, kupikir, tak ada suara binatang malam di sini. Kalau ada, lengkaplah sudah dugaanku, ini bukan London, tapi Panawangan; tempat aku lahir dan tumbuh, tempat segala malaikat kesepian bersemayam dengan tenang.
Senin, 24 Agustus 2015
Lanskap
tak kuingat nama-nama
tak kutahu arah
dan sedang menuju kemana
hanya lampu-lampu jalan
dalam remang yang malas
memberiku pertanda
kehidupan masih ada
meski makna tak kutemukan
dimana-mana.
o, haruskah sejauh ini?
Tanjung Lesung, Mei 2015
Rabu, 12 Agustus 2015
Pan(y)awangan: Satu Fragmen
kau tak perlu memilah-milah diksi yang tepat untuk berbicara padaku. biarkan senyummu semisteri puncak Ciremai yang terekam dalam masing-masing dada kita...
g, aku kembali ke tempat ini. Aku pulang. Aku pulang pada segenap kenangan yang pernah menggenapkan dan mengganjilkan kita. Kabut enam pagi yang masih sama, masih seperti dulu ketika senyummu menyeringai dari balik pekatnya kabut itu. Disini, di Panawangan, tempat pertama kita merangkum berbagai cerita perihal sit uncuing, nyulurkeun, angkernya jembatan Tonjong, dan berbagai epos-epos lainnya. Jalan-jalannya masih setia, merekam jejak-jejak kita.
Pasar yang masih penuh dengan kearifan, terminal yang masih cukup santun, serta udara yang aku yakini sebagian besarnya terdiri dari saripati kesenduan ini masih sama, masih seperti perasaanku padamu. Tak kurang-tak lebih. Panawangan, mungkin nama kota ini berasal dari kata panyawangan, aku asal tebak saja, sebenarnya. Karena aku belum menemukan catatan resmi asal mula nama kota ini. Panyawangan artinya tempat untuk menerawang. Dalam buku panduan daerah Kabupaten Ciamis, kota ini dinobatkan sebagai daerah tertinggi di Tatar Galuh. Tak heran banyak sekali kita temukan titik dimana kita bisa menerawang, melihat dan memandang daerah lain di sekeliling kota ini. Coba saja kau ke tikungan Andalas, kau akan melihat daerah selatan dengan gunung Syawal sebagai latar belakangnya. Atau kau cukup berdiri di belakang koramil desa, kau akan takjub dengan keangkuhan Ciremai. Ah, Panawangan.
g, kota kita ini yang selepas maghrib saja sudah berubah menjadi kota mati, masih menyimpan hal-hal yang membuatku menjadi anak kecil yang cengeng. Perihal mendiang kakek-nenek serta handai taulan yang layak dikenang. Dinginnya kota ini tak usah kita terangkan lagi, namun kebersamaan keluarga lebih dari cukup untuk menghangatkannya. Jika ada yang bertanya padamu, "bagaimana aku bisa sampai ke Panawangan?", tinggal jawab saja begini, jika berkendara saat malam, entah dari utara atau selatan, setelah melewati Cikijing atau Kawali, lalu kau sudah menemukan suatu tempat yang berkabut. Nah, itulah Panawangan. Kota ini masih kokoh merawat kenangan kita, sama seperti kokohnya ia merawat patilasan Prabu Siliwangi.
Tapi g, ada bagian kota ini yang perlahan-lahan berubah, orang-orang berkantong tebal dari kota datang membeli lahan-lahan tetangga dan menjanjikan sebuah peradaban yang lebih maju. Industrialisasi, apalagi kalau bukan itu. Sawah-sawah, kebun-kebun yang biasa digarap dengan penuh ketabahan ditukar dengan harapan akan peradaban yang lebih maju, yang lebih modern. Sekarang semua telah berubah menjadi lahan yang siap digunakan untuk calon-calon pabrik yang angkuh itu berdiri. g, aku takut suatu saat nanti, masyarakat kota ini hanya tahu menuntut kenaikan UMR. Kadang aku sering berpikir, peradaban macam apa yang tega mengorbankan kearifan desa? Sebenarnya tak ada yang salah dengan industrialisasi, hanya saja di negara kita ini, pemangku kebijakan acapkali lengah dalam pengawasan. Hingga pembangunan menjadi tak terkendali. Di satu sisi maju, di lain sisi terbelakang. Contohnya? Tengok saja kota-kota yang mengukuhkan dirinya sebagai pusat industri saat ini. Ketimpangan sosial-ekonomi semakin menganga. Jurang pemisah antara si miskin dan kaya, apalagi. Cluster-cluster mewah untuk mereka yang punya dibuka, sedangkan yang tak punya semakin tersisih. Kerusakan lingkungan? Tak perlu dijelaskan lagi. Aku takut, g. Aku takut!
g, saat ini aku pulang lagi padamu membawa keresahan-keresahan itu. Kau yang pernah menangis di pelataran mushola sekolah kita dulu. Kau yang pernah selalu kutunggu di gerbang sekolah. Kau yang selalu ingin kutemui di jam-jam istirahat. Kau yang dulu pernah kugenggam sepanjang Borobudur. Kau yang pernah menghangatkan hujan di suatu sore. Kau yang tak pernah malu memiliki kekasih yang rajin bercelana pendek. Aku hanya ingin mengucapkan satu kalimat saja padamu, g: aku berhenti dari semua hal tentangmu. Bukan, bukan aku sudah tak mencintaimu. Sama sekali tidak. Bahkan sampai saat menulis ini, aku masih berdiri diatas janji. Bukan juga karenaku sudah menemukan seseorang yang baru. Namun, g, aku sudah menyerah. Aku mengalah kepada kenyataan. Kau mungkin memaafkan semua kesalahanku, namun ada sesuatu yang jelas-jelas tak bisa diulang. Aku mengerti, g. Aku tak ingin kau menjadi kita, aku tak ingin menjadi penghalang jalan hidupmu. Aku melepasmu. Melepasmu dari semua kenang-kenangan kita. Aku tahu g, tanpa kuminta pun kau sudah melupakan kita. Tapi g, untuk seseorang sepertimu aku harus membuat semacam monumen di momentum yang pas. Terima kasih untuk tahun-tahun yang tabah.
Dan saat ini, g, ketika kau telah berlari sebagai cita-cita, aku melepasmu dengan doa yang mudah-mudahan diaminkan semesta: berbahagialah. Seorang penyair pernah berkata, semenjak luka kunamai doa, kutahu, kehilangan tak butuh air mata.
Rumah 2015
Rabu, 05 Agustus 2015
Kisah
Minggu, 21 Juni 2015
Menjadi Huruf Kecil
"Dia akan pulang untuk
membuktikan mana yang
lebih kuat, langit atau matamu"
— Menenangkan Rindu, M. Aan Mansyur.
Aku bertemu dengan seseorang dalam tidurku. Padaku
ia membisikkan kalimat-kalimat kesepian. Sesungguhnya
aku dan layar-layar dan kertas-kertas kosong ini saling
membenci. Kami tak tahu siapa yang lebih dulu harus diisi.
Kata-kata, barangkali, mengutuk diri mereka sendiri
dengan tertidur di atas punggung kami. Sewaktu-waktu
mereka akan bangun dan menyiksa kami. Tulis, tulis, tulis!
Beberapa hal tanpa kami sadari mengisi ulang dirinya
sendiri, ingatan dan baterai telepon genggammu. Barangkali.
Lihatlah ada seseorang yang menangis di layar telepon
genggammu. Seluruh ingatannya dipreteli oleh seseorang,
kamu. Tentunya. Lihatlah sepasang kekasih itu, mereka
sibuk mencipakan kobaran api dari ciuman mereka. Sedangkan
kita sibuk mencari sesuatu untuk memadamkan—yang mereka
sebut ingatan—letupan-letupan yang menyerupai huruf-huruf kecil
dalam sajak ini.
Sementara aku masih membangun diriku sebagai cita-cita,
kau telah berlari sebagai karir. Aku hanya ingin menjadi
sesuatu yang sederhana untukmu. Jalan-jalan yang pernah
kita lewati bersama dengan tangan bergandengan. Meskipun
ingatan kita tak cukup kuat untuk mengingat nama-nama
mereka, jalan-jalan itu, tak pernah sama sekali membenci
kita.
Seseorang pernah berkata padaku, kunci untuk saling mengisi
hanyalah dengan saling mengingat—"andai sesederhana itu"
katamu. Dan kudapati diriku sendiri sebagai seorang
pembohong yang hebat. Karena apa? Karena aku mampu
mengingat dengan kuat. Maka kuputuskan 'tuk menuliskanmu,
suka-duka, ingatan yang saling melupakan dalam sajak ini.
Kebon Jeruk, 21 Juni 2015
Rabu, 17 Juni 2015
Tigapagi dan Hal-Hal yang Selalu Mengetuk Pintu Kenangan
Ada beberapa hal yang selalu gemar untuk dia kenang. Terlepas dari baik-buruknya, dia-yang-terlalu-candu kepada hal-hal semacam itu; yang ingin sekali ia katakan namun enggan juga untuk ia selesaikan.
Senin, 08 Juni 2015
Orkes Jahanam
Awalnya saya berkenalan dengan musik-musik Silampukau hanya melalui linimasa di twitter, yap, tepatnya dari Arman Dhani. Masdhan, begitu biasa dia akrab disapa di linimasa, melalui akunnya berkicau tentang video, gig, serta seluk-beluk Silampukau lainnya. Saya langsung “terjebak” di ‘Lagu Rantau’; waktu memang jahanam/kota teramat kejam/dan pekerjaan, menyita harapan, bait pertama ditambah dengan komposisi musik yang pas, gembira namun cengeng, cengeng namun gembira: beuh!
![]() |
Silampukau dalam acara Monster of Folks di Mondo Cafe, Kemang. |
Sabtu, 6 Juni 2015. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Kesempatan untuk menyaksikan mereka secara langsung datang di acara bertajuk ‘Monster of Folk’ yang dihelat di Mondo Cafe, Kemang. Saya datang kesana tanpa pikir panjang seperti biasa karena saya yakin mereka bisa memenuhi ekspektasi saya. Acara yang awalnya digelar pukul 19.30, baru dimulai 45 menit kemudian, tepatnya 20.15. Sutasoma membuka acara tersebut dengan 3 lagu, setelah itu Bin Idris dengan permainan gitar yang penuh distorsi membuat crowd cukup terhenyak, lalu ditenangkan dengan kesantaian ala Harlan Broer.
Selasa, 02 Juni 2015
#1
mencariku! lembah yang
tak berangin tak bersuara
sibuk dalam lengang semata
ia mendengar pada segala
tetikus, bit-bit memori,
laju-laju mesin pencari.
ia temukan; sepi, sepi, sepi!
dalam lubuk kata,
kurangkum sepi untuknya.