serulah dia tanpa ia mendengar suaramu - ahda imran

Senin, 02 November 2015

Perayaan

: asma

nir, katakan padaku: selain tangis
adakah lagi yang bisa kutadahkan
di hadapan runcing waktu?

//nopember 2015

Sabtu, 12 September 2015

Catatan Pengantar Mabuk

Abbey Road

Kita berjalan di sepanjang Abbey Road. Terhuyung-huyung, diantara sadar dan mabuk. Angin jahanam malam itu, racauanmu melagu ‘I Wanna Hold Your Hands’ tak kudengar jelas. Sayup-sayup. Barangkali tak ada yang lebih kekinian dibanding sepasang pemabuk yang meneriakkan ‘Hey, Jude!' beribu-ribu kali. Kau lalu bersandar pada tiang lampu jalan lantas terduduk menatapku yang terhuyung-huyung dalam langkah—yang demi setan manapun terlihat seperti tua bangka pengidap parkinson. “Heu!” kudengar cegukanmu serupa suara sapi yang malas bangun di hari-hari ajaib. “Maukah kau berjanji padaku untuk kali ini saja?” ucapanmu itu lambat-lambat berusaha kucerna, tapi ada sesuatu yang mengganjal, serasa ingin meluap “aaaaaaarkkk…” aku bersendawa dengan keras, seolah-olah berusaha melepaskan setan yang ada dalam diri. “Demi setan manapun, aku adalah manusia yang cukup bisa kau percaya. Ayo katakan, janji apa yang harus kupegang?”. Angin sialan kembali berdesir, sayang sekali, kupikir, tak ada suara binatang malam di sini. Kalau ada, lengkaplah sudah dugaanku, ini bukan London, tapi Panawangan; tempat aku lahir dan tumbuh, tempat segala malaikat kesepian bersemayam dengan tenang.

“Benarkah kau dapat memegang janji?” kau balik bertanya.

“Dengan menghabiskan setiap gelas bir di bar tadi, seharusnya kau bisa menilaiku sebagai orang yang dapat memegang janji!” aku menimpali dengan sedikit bersungut.

“Itu rakus namanya, bajingan!” kau membalas bersungut.

“Sialan! Demi setan manapun, cepat katakan apa yang harus aku tepati akan aku buktikan bahwa aku memang bisa memegang janji!” aku semakin kesal dengan adegan bertele-tele ini, tapi perlahan kabut mulai menyelimuti sepanjang jalan, cahaya lampu jalan terpancar agak redup menciptakan suasana remang yang mistik.

“Baiklah...” kau lantas berdiri, menggapai-gapai tiang lampu, lalu mengarahkan telunjuk sialanmu itu tepat di depan hidungku. “Aku akan berjalan ke arah berlawanan yang menuju arah kita pulang dan sebelum aku—bayanganku tertelan kabut lalu kau benar-benar sudah tak melihat sesuatu apapun dariku. Kau harus berjanji untuk tetap melihat ke arahku berjalan tanpa berpindah posisi sedikit pun dari tempat kau berdiri sekarang. Mengerti?”

“Seperti itu aja? Baiklah!” aku menyanggupi dengan enteng. Perlahan kau berjalan meninggalkanku ke arah itu, arah yang berlawanan. “Heu!” kudengar kau cegukan sambil berjalan ke arah sana. Berkali-kali. Kabut yang menyelimuti sekitar kita semakin tebal, aku masih di tempat tadi berdiri. Sesuai janji. Tapi ada yang aneh, aku merasakan itu sejak langkah pertamamu, mataku semakin berat seiring semakin tebalnya kabut, suara cegukan dan langkah kakimu menciptakan semacam irama. Simponi yang tak asing. Lagu pengantar…

Ingatanku memutar 'Promise' milik Ben Howard, menenggelamkanku ke dalam ingatan-ingatan tentang perjalanan hidup kita, semakin dalam. Aku seperti terhisap namun dalam waktu bersamaan aku merasa tercerabut. “Ah, maut…” batinku, seketika tubuhku ambruk.


//margonda awal september 2015

sumber gambar : community.digitalmediaacademy.org

Senin, 24 Agustus 2015

Lanskap

o, sepanjang jalan ini
tak kuingat nama-nama
tak kutahu arah
dan sedang menuju kemana
hanya lampu-lampu jalan
dalam remang yang malas
memberiku pertanda
kehidupan masih ada
meski makna tak kutemukan
dimana-mana.

o, haruskah sejauh ini?

Tanjung Lesung, Mei 2015

Rabu, 12 Agustus 2015

Pan(y)awangan: Satu Fragmen

--g.

kau tak perlu memilah-milah diksi yang tepat untuk berbicara padaku. biarkan senyummu semisteri puncak Ciremai yang terekam dalam masing-masing dada kita...


g, aku kembali ke tempat ini. Aku pulang. Aku pulang pada segenap kenangan yang pernah menggenapkan dan mengganjilkan kita. Kabut enam pagi yang masih sama, masih seperti dulu ketika senyummu menyeringai dari balik pekatnya kabut itu. Disini, di Panawangan, tempat pertama kita merangkum berbagai cerita perihal sit uncuing, nyulurkeun, angkernya jembatan Tonjong, dan berbagai epos-epos lainnya. Jalan-jalannya masih setia, merekam jejak-jejak kita.


Pasar yang masih penuh dengan kearifan, terminal yang masih cukup santun, serta udara yang aku yakini sebagian besarnya terdiri dari saripati kesenduan ini masih sama, masih seperti perasaanku padamu. Tak kurang-tak lebih. Panawangan, mungkin nama kota ini berasal dari kata panyawangan, aku asal tebak saja, sebenarnya. Karena aku belum menemukan catatan resmi asal mula nama kota ini. Panyawangan artinya tempat untuk menerawang. Dalam buku panduan daerah Kabupaten Ciamis, kota ini dinobatkan sebagai daerah tertinggi di Tatar Galuh. Tak heran banyak sekali kita temukan titik dimana kita bisa menerawang, melihat dan memandang daerah lain di sekeliling kota ini. Coba saja kau ke tikungan Andalas, kau akan melihat daerah selatan dengan gunung Syawal sebagai latar belakangnya. Atau kau cukup berdiri di belakang koramil desa, kau akan takjub dengan keangkuhan Ciremai. Ah, Panawangan.


g, kota kita ini yang selepas maghrib saja sudah berubah menjadi kota mati, masih menyimpan hal-hal yang membuatku menjadi anak kecil yang cengeng. Perihal mendiang kakek-nenek serta handai taulan yang layak dikenang. Dinginnya kota ini tak usah kita terangkan lagi, namun kebersamaan keluarga lebih dari cukup untuk menghangatkannya. Jika ada yang bertanya padamu, "bagaimana aku bisa sampai ke Panawangan?", tinggal jawab saja begini, jika berkendara saat malam, entah dari utara atau selatan, setelah melewati Cikijing atau Kawali, lalu kau sudah menemukan suatu tempat yang berkabut. Nah, itulah Panawangan. Kota ini masih kokoh merawat kenangan kita, sama seperti kokohnya ia merawat patilasan Prabu Siliwangi.


Tapi g, ada bagian kota ini yang perlahan-lahan berubah, orang-orang berkantong tebal dari kota datang membeli lahan-lahan tetangga dan menjanjikan sebuah peradaban yang lebih maju. Industrialisasi, apalagi kalau bukan itu. Sawah-sawah, kebun-kebun yang biasa digarap dengan penuh ketabahan ditukar dengan harapan akan peradaban yang lebih maju, yang lebih modern. Sekarang semua telah berubah menjadi lahan yang siap digunakan untuk calon-calon pabrik yang angkuh itu berdiri. g, aku takut suatu saat nanti, masyarakat kota ini hanya tahu menuntut kenaikan UMR. Kadang aku sering berpikir, peradaban macam apa yang tega mengorbankan kearifan desa? Sebenarnya tak ada yang salah dengan industrialisasi, hanya saja di negara kita ini, pemangku kebijakan acapkali lengah dalam pengawasan. Hingga pembangunan menjadi tak terkendali. Di satu sisi maju, di lain sisi terbelakang. Contohnya? Tengok saja kota-kota yang mengukuhkan dirinya sebagai pusat industri saat ini. Ketimpangan sosial-ekonomi semakin menganga. Jurang pemisah antara si miskin dan kaya, apalagi. Cluster-cluster mewah untuk mereka yang punya dibuka, sedangkan yang tak punya semakin tersisih. Kerusakan lingkungan? Tak perlu dijelaskan lagi. Aku takut, g. Aku takut!


g, saat ini aku pulang lagi padamu membawa keresahan-keresahan itu. Kau yang pernah menangis di pelataran mushola sekolah kita dulu. Kau yang pernah selalu kutunggu di gerbang sekolah. Kau yang selalu ingin kutemui di jam-jam istirahat. Kau yang dulu pernah kugenggam sepanjang Borobudur. Kau yang pernah menghangatkan hujan di suatu sore. Kau yang tak pernah malu memiliki kekasih yang rajin bercelana pendek. Aku hanya ingin mengucapkan satu kalimat saja padamu, g: aku berhenti dari semua hal tentangmu. Bukan, bukan aku sudah tak mencintaimu. Sama sekali tidak. Bahkan sampai saat menulis ini, aku masih berdiri diatas janji. Bukan juga karenaku sudah menemukan seseorang yang baru. Namun, g, aku sudah menyerah. Aku mengalah kepada kenyataan. Kau mungkin memaafkan semua kesalahanku, namun ada sesuatu yang jelas-jelas tak bisa diulang. Aku mengerti, g. Aku tak ingin kau menjadi kita, aku tak ingin menjadi penghalang jalan hidupmu. Aku melepasmu. Melepasmu dari semua kenang-kenangan kita. Aku tahu g, tanpa kuminta pun kau sudah melupakan kita. Tapi g, untuk seseorang sepertimu aku harus membuat semacam monumen di momentum yang pas. Terima kasih untuk tahun-tahun yang tabah.


Dan saat ini, g, ketika kau telah berlari sebagai cita-cita, aku melepasmu dengan doa yang mudah-mudahan diaminkan semesta: berbahagialah. Seorang penyair pernah berkata, semenjak luka kunamai doa, kutahu, kehilangan tak butuh air mata.


Rumah 2015

Rabu, 05 Agustus 2015

Kisah

Ketika tak ada sedetik pun tuk bernafas
Ketika tak ada sedetik pun tuk melawan
Kau tahu kau sedang dan akan kehilangan dirimu
Menjadi orang asing yang tinggal dalam tubuhmu
Lalu kau memejamkan mata dan menjelang sesuatu
Yang jelas tiada—pagi atau kenangan tentang
Seseorang yang pernah dengan gigih duduk
Di ruang tamu rumahmu.

Kau berkata kepada entah
Dan kau mencoba menjelaskan dengan adalah-adalah
Namun kau dapati dirimu berputar di yang itu-itu saja.
Kau ingin menangis, mengenang sesuatu
Yang tak pernah ada itu. Kau tenggelam—semakin.
Kau bertanya dimana arah? Dan ruang-ruang dalam hatimu
Bergema. Dimana-dimana? Kau lelah namun tak bisa
Berhenti. Sebab berhenti lebih buruk dari yang tiada.

Dari yang hampa kembalilah kepada hampa…


Kebon Jeruk 2015

Minggu, 21 Juni 2015

Menjadi Huruf Kecil

    "Dia akan pulang untuk
     membuktikan mana yang
     lebih kuat, langit atau matamu"
     — Menenangkan Rindu, M. Aan Mansyur.

Aku bertemu dengan seseorang dalam tidurku. Padaku
ia membisikkan kalimat-kalimat kesepian. Sesungguhnya
aku dan layar-layar dan kertas-kertas kosong ini saling
membenci. Kami tak tahu siapa yang lebih dulu harus diisi.
Kata-kata, barangkali, mengutuk diri mereka sendiri
dengan tertidur di atas punggung kami. Sewaktu-waktu
mereka akan bangun dan menyiksa kami. Tulis, tulis, tulis!
Beberapa hal tanpa kami sadari mengisi ulang dirinya
sendiri, ingatan dan baterai telepon genggammu. Barangkali.

Lihatlah ada seseorang yang menangis di layar telepon
genggammu. Seluruh ingatannya dipreteli oleh seseorang,
kamu. Tentunya. Lihatlah sepasang kekasih itu, mereka
sibuk mencipakan kobaran api dari ciuman mereka. Sedangkan
kita sibuk mencari sesuatu untuk memadamkan—yang mereka
sebut ingatan—letupan-letupan yang menyerupai huruf-huruf kecil
dalam sajak ini.

Sementara aku masih membangun diriku sebagai cita-cita,
kau telah berlari sebagai karir. Aku hanya ingin menjadi
sesuatu yang sederhana untukmu. Jalan-jalan yang pernah
kita lewati bersama dengan tangan bergandengan. Meskipun
ingatan kita tak cukup kuat untuk mengingat nama-nama
mereka, jalan-jalan itu, tak pernah sama sekali membenci
kita.

Seseorang pernah berkata padaku, kunci untuk saling mengisi
hanyalah dengan saling mengingat—"andai sesederhana itu"
katamu. Dan kudapati diriku sendiri sebagai seorang
pembohong yang hebat. Karena apa? Karena aku mampu
mengingat dengan kuat. Maka kuputuskan 'tuk menuliskanmu,
suka-duka, ingatan yang saling melupakan dalam sajak ini.

Kebon Jeruk, 21 Juni 2015

Rabu, 17 Juni 2015

Tigapagi dan Hal-Hal yang Selalu Mengetuk Pintu Kenangan




Ada beberapa hal yang selalu gemar untuk dia kenang. Terlepas dari baik-buruknya, dia-yang-terlalu-candu kepada hal-hal semacam itu; yang ingin sekali ia katakan namun enggan juga untuk ia selesaikan.

Beberapa hal yang selalu seenaknya datang. Lalu pergi dengan membawa sedikit-banyak bagian dari dirinya.

Ada baiknya untuk saat-saat seperti ini, dia hanya mampu meringkuk dalam diam. Diam yang benar-benar diam—seolah-olah dia pemilik waktu, maka waktu dia hentikan pula untuknya.

Jangan! Jangan terburu-buru untuk hal-hal semacam ini. Biarkan dia merusak sekaligus memperbaiki dirinya sendiri dengan cara yang telah dia pilih: diam, ya, hanya diam.

Cobalah untuk mendengar suara-suara dari gelisah yang paling sempurna itu dalam diam. Cobalah, coba!


//tigapagi.

Senin, 08 Juni 2015

Orkes Jahanam

Jahanam! Berulang-ulang saya memutar ‘Lagu Rantau’ milik grup musik yang setidaknya telah memberikan saya setitik harapan bahwa masih ada musik berkualitas nan bernas di belantika musik tanah air ini. Yap, mereka adalah Silampukau. Sebagai informasi di awal, saya sendiri bukan seorang kritikus musik apa-apa, hanya sebatas penikmat saja. Namun mereka, Silampukau, telah menggerakan saya untuk setidaknya menulis sebuah ulasan sesuai kemampuan saya.



Awalnya saya berkenalan dengan musik-musik Silampukau hanya melalui linimasa di twitter, yap, tepatnya dari Arman Dhani. Masdhan, begitu biasa dia akrab disapa di linimasa, melalui akunnya berkicau tentang video, gig, serta seluk-beluk Silampukau lainnya. Saya langsung “terjebak” di ‘Lagu Rantau’; waktu memang jahanam/kota teramat kejam/dan pekerjaan, menyita harapan, bait pertama ditambah dengan komposisi musik yang pas, gembira namun cengeng, cengeng namun gembira: beuh!

Silampukau dalam acara Monster of Folks di Mondo Cafe, Kemang. 

Sabtu, 6 Juni 2015. Pucuk di cinta, ulam pun tiba. Kesempatan untuk menyaksikan mereka secara langsung datang di acara bertajuk ‘Monster of Folk’ yang dihelat di Mondo Cafe, Kemang. Saya datang kesana tanpa pikir panjang seperti biasa karena saya yakin mereka bisa memenuhi ekspektasi saya. Acara yang awalnya digelar pukul 19.30, baru dimulai 45 menit kemudian, tepatnya 20.15. Sutasoma membuka acara tersebut dengan 3 lagu, setelah itu Bin Idris dengan permainan gitar yang penuh distorsi membuat crowd cukup terhenyak, lalu ditenangkan dengan kesantaian ala Harlan Broer.   

 Akhirnya, Silampukau pun mendapat kesempatan dengan sambutan yang cukup wah dari crowd yang datang ke venue. Dari sambutan itu saya bisa simpulkan bahwa sebagian besar yang datang ke venue adalah mereka yang ingin menyaksikan Silampukau. Malam itu mereka dibantu Gabriel Mayo yang memainkan ukulele dan pianika di beberapa lagu. Benar saja lewat ‘Ballada Harian’ mereka sukses membuka gig mereka dengan wah, mayoritas crowd bernyanyi bersama. Manis sekali! Bagian terbaik lagu ini adalah disaat larik awal berpadu dengan musik yang riang, Tiktok jam/dering alarm.... . Mewah nan sederhana.

Bianglala’, ‘Bola Raya’, ‘Lagu Rantau’, ‘Puan Kelana’, ‘Malam Jatuh di Surabaya’1, ‘Sang Juragan’, dan ‘Doa 1’, berturut-turut didendangkan mereka, crowd memberikan timbal balik yang positif dengan ikut bernyanyi bersama. Ya. Saya sendiri merasa sangat puas, dan sampai menggeleng-gelengkan kepala dengan gig sehebat ini. Ekspresi mas Kharis ketika bernyanyi—dia selalu menatap mikrofon ketika mengambil jeda. Kehebatan mereka ada pada lirik-lirik yang menggambarkan kota asal mereka, Surabaya. Kegamangan-kegamangan yang berpadu dengan irama musik yang pas. Saya sempat baca review Afrizal Malna tentang mereka, bahwa mendengar mereka seakan-akan musik sebagai sebuah kamar pribadi yang hanya ditujukan untuk seseorang, bukan untuk massa.2

Sebuah karya yang baik adalah yang apabila kita berhadapan dengannya kita seolah-olah sedang berhadapan dengan, diri kita sendiri—meliputi kenangan-kenangan subtil tentang yang hilang dan yang tak kembali. Silampukau telah membius saya secara keseluruhan. Seratus!

Jakarta, 8 Juni 2015



catatan kaki: 
1: saya sempat berbincang dengan duo vokal Silampukau, mas Eki dan mas Kharis, menanyakan perihal tragedi Ahmad Yani dalam lagu ‘Malam Jatuh di Surabaya’. Ternyata saya salah persepsi, tak ada tragedi Ahmad Yani. Tapi tentang jalan Ahmad Yani yang menjadi urat nadi kota Surabaya. haha, maklum belum tahu-belum pernah kesana, saya menimpali. “Kalo di Jakarta mungkin kaya Thamrin ya mas?” saya bertanya lagi, “Thamrin?  wah ndak tahu saya, emang macet?” jawab mas Kharis.
2: Diatonik Kota, Bola, dan Vodka oleh Afrizal Malna.


Selasa, 02 Juni 2015

#1

Mencariku

ia pergi ke lembah itu—
mencariku! lembah yang
tak berangin tak bersuara
sibuk dalam lengang semata
ia mendengar pada segala

ia mendengar rol-rol
tetikus, bit-bit memori,
laju-laju mesin pencari.
ia temukan; sepi, sepi, sepi!

ia masih sebab
bingung mencariku.
dalam lubuk kata,
kurangkum sepi untuknya.

Kebon Jeruk 2015

Sabtu, 09 Mei 2015

dua puluh satu

    "ingin bahagia tapi masih berharap sama orang lain? mimpi!"

inginku hadiahkan
solat subuh berjamaah—
setiap hari
dengan telimpuh pasrah
dari doa-doa sepi
paling piatu.

inginku hadiahkan
setiap pagimu dengan kabarku:
"sudah gelisah hari ini?"
sudah! tapi tenang. menulis ialah
usahaku memelukmu dari jauh.

karena kata-kata selalu
tahu diri, mereka tak pernah
berjanji kalau sekiranya
tak bisa menepati—
ya. tak sepertiku.

"hei! kau masih berhutang padaku"
hutang apa?
"coba kau ingat-ingat sendirilah. manja!"
voila! aku ingat, sayang:
lupa menculik lalu berhutang beberapa jalan
pulang kepadamu*

sekarang: kabur yuk!

Kebon Jeruk 2015

*: salah satu judul puisi Pringadi Abdi Surya, 'Aku Berhutang Beberapa Jalan Pulang Kepadamu".

Bagaimana?

ketika saya berdoa,
Tuhan tak pernah bertanya:
"mazhab kamu apa?"

jadi, yang Tuhan itu
Dia atau anda?

bagaimana?

Kebon Jeruk 2015

Kamis, 07 Mei 2015

verba valent scripta manent

   ; hhe

dagingku tinggal sekerat ini:
kau hariara—
hikayat kokoh nasib
dalam kenangku.

waktu melukis apa yang tak abadi;
mata, juga celah-celah kopong
ketiadaanmu.

"aku tak suka upacara maupun seremonial seperti itu!"

malam mengejan;
kuhitung waktu
detik berdetak majal
terkekeh masygul kerlingmu—
"hhe"

o, kukira, selaiaknya kuhadiahkan;
puncak-puncak gunung,
palung-palung samudera,
potret-potret tualang,
syair-syair indah—
"aku hanya ingin kabarmu setiap pagi. itu saja!"

"a luta continua! revolusi tak pernah terjadi di atas kasur. buruh sedunia, bersatulah!"

"bagaimana mau membela mereka dengan cara menelantarkan dirimu sendiri, bung!"

setidaknya aku tak berniat mati untuk dilupakan, jalang!
langit mengejawantahkan segala yang tak sanggup
ditanggung bumi: "sukar ditebak" katamu.

Kebon Jeruk 2015

Selasa, 28 April 2015

Kitalah Bunga Itu, Bung!

     kepada Tri Em.

   Sungguh, tulisanmu yang berjudul 'Surat dari Tanah Rantau' benar-benar membuat setiap hari saya dipenuhi tanda tanya, tanda tanya untuk diri sendiri sambil memplesetkan judul salah satu puisi  M. Aan Mansyur, 'Sudahkah Kau (gelisah, lalu lekas) Memeluk Dirimu Sendiri'. Waktu itu Jum'at pagi di akhir bulan Maret, kita bersama teman-teman MalamPuisi Jakarta sedang menyiapkan pentas untuk acara EarthHour di Binus, tiba-tiba kau mengirim pesan ke grup penggerak tentang niatan untuk pergi ke Yogyakarta atas panggilan mas Puthut EA. Sampai disini, saya sendiri bingung. Ada apakah?

   Sebelum kau memposting tulisanmu itu, berbagai spekulasi saya pikirkan tentang alasanmu pergi kesana. Barangkali ini, barangkali itu (kita bisa membahasnya di whatsapp saja. ok! hahaha). Di hari-hari awal di sana, kau sering berkicau tentang pemikiran-pemikiran Pram. Wah, ada apa ini? Tak lama setelah itu kau memposting tulisan tadi, tentang kau yang berhijrah ke Yogya. Argumen-argumenmu sangat relevan bahwa Jakarta tak cocok untuk penulis. Setelah membaca keseluruhan tulisanmu itu, aku mendapat kesimpulan: kau telah berani memilih jalanmu, bung!

   Oke, bung! Saya lanjutkan tulisan ini, sebenarnya saya pun "hampir" jadi orang Yogya. Tepatnya awal Maret kemarin, saya mendapat panggilan kerja di sana. Di sana, saya ingin menyepi dan membangun kehidupan dari titik nol, benar-benar nol. Menjalin relasi dengan orang-orang baru. Membuat cerita dan kisah baru. Selain alasannya sama sepertimu, ada juga hal-hal lain yang menjadi motivasi mengapa saya ingin sekali tinggal di sana. Banyak sekali kenangan yang ingin saya rapihkan di sana, saya ingin menenangkan rindu-rindu yang tak henti-hentinya menghantui selama 6 tahun ke belakang ini.

    Saya ingin meninggalkan semua rutinitas serta kenyamanan yang sudah cukup saya bangun 2 tahun di Jakarta. Dalam gerbong VII KA Jaka Tingkir sepanjang perjalanan Jakarta-Yogya, tak henti-hentinya tagline blog kang Zen RS"hidup yang tak dipertaruhkan takkan pernah dimenangkan!", bergaung-gaung dalam pikiran. Izin dan do'a dari orang tua juga orang-orang terdekat telah saya bawa dalam perjalanan ke sana. 2 hari saya di sana, hari pertama saya habiskan menziarahi kenangan di sudut-sudut kota Yogya, saya sempat ke Perpusda di Malioboro, Sayyidan, Kraton, sampai ke Mesjid Kauman. Dari beberapa tempat yang saya kunjungi, Perpusda ternyata memberi kesan yang mendalam, selain karena gratis, ketika masuk ke ruangannya saya "disambut" oleh beberapa orang yang benar-benar khusyuk membaca sambil menulis. Saya masih ingat, ada seorang kakek yang tengah membaca koran lama sambil menulis di selembar kertas. Luar biasa! Saya penasaran dibuatnya, begitulah kota ini.

   Namun sayang, hasil interview keesokan harinya diluar harapan saya. Saya gagal memenuhi kualifikasi yang diinginkan perusahaan tersebut. Saya tak patah arang begitu saja, kecewa memang, namun dalam diri ini, saya tekankan bahwa dibalik semua hasil hari itu terdapat sebuah hikmah pelajaran. Bahwa dimanapun semangat untuk terus berkarya harus tetap menyala, sambil mengingat bait-bait sajak 'Bunga dan Tembok'nya Widji Thukul, jika kami bunga/engkau adalah tembok itu/tapi di tembok itu telah kami sebar biji-biji/suatu saat kami akan tumbuh bersama/dengan keyakinan: KAU HARUS HANCUR!. Saya pulang ke Jakarta dengan kepala tegak. Perjalanan baru telah menunggu saya.


   
   Walau pun perjalanan ke Yogya itu cukup menguras tabungan, sampai saya juga harus keluar dari kampus (padahal baru 1 semester! hahaha). Tapi saya tak menyesal sedikit pun, karena apa? Saya telah merobohkan 'tembok-tembok' yang menjadi pembatas diri saya. Walau menurut interpretasi kebanyakan pembaca tentang 'tembok' dalam sajak 'Bunga dan Tembok' itu sebagai tirani kekuasaan yang semena-mena. Untuk saya, 'tembok' dalam sajak tersebut adalah ketakutan-ketakutan serta batas-batas yang saya buat-buat sendiri.

   Demi apapun, hasrat saya untuk menjadi warga Yogya tetap menyala sampai detik ini. Namun, demi kemapanan pikiran, perkataan, dan perbuatan, dimanapun saya harus menjadi 'biji-biji' yang tetap menolak tunduk pada 'tembok-tembok' itu. Tak ada yang lebih penting untuk ditaklukan selain diri saya sendiri! Untukmu, bung, semoga di Yogya kau bisa meraih apa yang telah kau rencanakan. Wujudkan semua mimpi-mimpimu yang tertunda, terima kasih telah berbagi ilmu dan pengalaman kepada saya.

   Bukankah: nasib adalah kesunyian masing-masing?! Semoga kita adalah 'biji-biji' yang terus melawan segala keterbatasan untuk menjadi 'bunga' di kemudian hari. Tabik!
 
Kebon Jeruk, 28 April 2015
    

   

Tadi Malam

tadi malam
gelap mengajakku
piknik ke bukit dadamu
lewat lubang susumu
sampailah 'ku di jantungmu

tadinya, ingin sekali
kumengetukmu namun
ada Dia di degupmu.

Ciamis 2015

Kamis, 12 Maret 2015

Lapuk

semacam kulit,
kesedihan yang kau titipkan padaku
semakin sulit,
waktu berulang pada indahmu

di punggung sepi ini,
luka beriak

tubuhku bersembunyi
dari pandang nestapamu


Jakarta 2015

Selasa, 24 Februari 2015

Kupinang (saja) Puisi dengan Sunyi sebagai Maharnya

      ; untuk Ytr.*

aku tak pernah rela namaku tertera dalam kitab 
iba masa lampaumu yang hari ini kau baca sambil
meringis tangis namun kemudian hari sambil merenda
tawa. seperti yang kau tahu, tentang kita ialah dua 
anak burung yang khusyuk belajar terbang bersama-sama,
jatuh-bangun dimuram durja. bila suatu waktu sayapku
patah kau dengan sigap memapahku, begitu juga sebaliknya.

        ...biar kini aku mengulur-ulur luka. menyulam tangis. sendiri!

bukankah ku sering bertanya tentang dosa apa yang 
telah kulakukan di kehidupan terdahulu lalu dengan
sigap kau seringnya menjawab begini: kenapa?
seperti yang kau tahu, tentang kita ialah dua 
insan tanpa dosa yang mengemis-ngemis iba restu
orangtua. kaulah serat-serat kata dari daging ringkih 
kalimatku ini dan niat ialah jantung dari darah kasih
yang mengalir lungguh dalam jalinan yang tak utuh.

        ...biar jauh dari orangtua tapi kita dekat dengan cinta!

seperti yang kau tahu, tentang kita kata mereka: bekal hidup
berdua tak pernah cukup dengan mahir menjerat kata. makanya, 
cari makna! perut lapar tak kan kenyang dengan diksi-diksi bercita 
rasa istimewa. mau makan apa? metafora? alegori? ...cuih, ironi!
tapi bukankah kenyang itu kata, perut itu kata, rasa itu kata
mereka tak pernah tahu.

        ...digit-digit rekeningku kini merindukan peristiwa yang tak pernah terjadi itu!

seperti yang kau tahu, tentang aku adalah lelaki paling lapang 
dada meski duka telah berpalung sunyi karena kau berpaling
janji memilih berpulang kepada selain aku. selamatlah kamu.

         ...ada yang jual restu? beli dong satu renceng!

biar kini kuberjalan bersama Neruda, meminang puisi dengan sunyi sebagai maharnya



Jakarta, 24 Februari 2015

*: Yang -tak- direstui



Wajahmu itu Bulan, Perempuanku

Tak dinyana, aku memiliki keberanian untuk menuliskanmu. Kamu yang senantiasa meneduhiku dengan petuah-petuah agung berkata kunci 'jangan' dan 'lupa', jangan lupa..., selalu. Pernah suatu hari kamu menangis, mengais-ngais sisa kasih untukku, kuingat kala itu sebuah hardikan dari mulutku yang lancang ini telah merobek hati, mengoyak naluri, meruntuhkan kasih hingga hanya hujan yang saban hari kulihat dari matamu. Deras sekali.

Andai waktu itu kamu memohon kepada Tuhan agar sesuatu yang buruk jatuh menimpaku maka kukira kini bukan lagi hikayat si Malin yang diceritakan sebagai pengantar tidur anak-anak di seluruh negri tapi hikayat kedurhakaan seorang aku. Aku yang senantiasa mencari kebahagiaan diluar sana dan hanya membawa kedukaan sepulang kembara. Amarah, tak ada cinderamata selain itu yang kubawa ketika pulang tualang, untuk meneduh dan merajuk dibawah atap gubuk kita yang rapuh.

Padahal sederhana inginmu, tak ingin aku merasakan apa yang dulu kamu rasakan. Jatuh dan bangun sendirian. Memelihara malam berteman kesunyian. Katamu "...sebabnya itu aku ada maka ceritakanlah segala kisah tualangmu", aku yang tak pernah percaya dengan semua omongkosongmu seringkali hanya membanting pintu sebagai jawaban dari pintamu itu. Aku keluar...

*

Jarak dan waktu kini membentang diantara kita. Hanya sambungan telepon seminggu sekali yang acapkali kugunakan untuk sekedar mendengar suaramu. Ada rasa hampa yang begitu dalam menganga, disana aku menggigil merana dalam kegelapan kehidupan ini. Titah suci yang seringkali kutujah dulu, kini kurindukan setengah mati. Gulita hati tanpa pelita kasihmu yang jauh. Aku butuh bulan, ibu...

*

Kebahagiaan. Misiku hanya satu, mencari bahagia dimana-mana, pernah aku mendaki gunung-gunung yang tinggi, berkemah disana barang satu-dua hari, menikmati dan mencandai perawannya alam guna mengobati kerusakan jiwa tapi seperti kembali pada semula, aku tak menemukan apa-apa! Lain halnya dengan dirimu yang--katamu ditugasi Tuhan untuk menjadi pelindungku. Kerjaanmu sepanjang waktu hanya satu, mendoakan keselamatanku.

Mengapa tak kusadari sejak dahulu, ketika kita hanya tersekat dinding bilik dibawah atap gubuk rapuh milik kita. Mungkin aku akan bercerita sepuas-puasnya perihal perih dan gegap gempita alur kehidupanku. Merasakan hangat tatap matamu yang tersaji bersama teh hangat setiap aku bangun pagi. Mengapa? "penyesalan itu selalu belakangan, yang didepan mah nuntun kambing kamunya duluan..." kau yang seringkali berseloroh ketika mendengar segala penyesalanku.

*
...mengapa, bu?
.
.
.

*

"Kasihku ini gelora, nak! Nyala apinya abadi sepanjang usia; sejauh apapun kau melangkah, sehebat apapun kau melupakanku. Kamu sudah terpatri dalam sanubari, nak! Kamu tetesan peluh airmata yang kubangga-banggakan, tak satupun rasa hina berkembang biak dalam dadaku ini. Jangan pernah sungkan, dadaku adalah sebaik-baiknya kepulangan untukmu. Sembuhkanlah disini, dipelukanku, rebahkanlah segara gundah dalam jiwamu karena tak adalagi yang bisa kuberi selain harta ini, harta yang satu-satunya kumiliki: pelukanku, nak, peluklah aku maka kan kusiangi segala belukar kesedihanmu!"


*

Gelap yang kurasa kini bukan karena malam yang hujan bertubi-tubi. Ini kegelapan sejati, kegelapan hati! Hanya ada satu yang mampu menuntunku dalam gelap ini, cahaya rembulan dari wajahmu. Bulan? Aku tak pernah menyadari bahwa bulan yang paling indah itu tak hanya bulan tanggal empatbelas, aku harusnya sadar dari dulu tentang mengapa ayahmu memberikan nama yang kamu sandang kini. Semestinya, aku sadar setiap malamku selalu bertahtakan bulan, kedamaian (puncak dari kebahagiaan) yang selalu kucari sepanjang usiaku ini. Ternyata semuanya tak jauh, ia begitu dekat, melekat dalam sela-sela nafasmu. Maka, izinkanlah aku mengaku "Mamah, maafkan anakmu. Aku sangat rindu padamu..."

*
"...pulanglah, nak! sini peluk aku!"




~




...ibukota. akhir februari yang basah


kepada Komariah, Rembulanku.


dari anakmu yang batu!